top of page

Seberapa kenal dan paham kita dengan tetangga di kawasan Asia Tenggara? Program kali ini mengusulkan: lihatlah film-filmnya. Namun, seberapa jauh film bisa diandalkan sebagai teropong? Film adalah produk budaya. Kebanyakan film --baik dari genre drama biasa, maupun genre fiksi ilmiah-- kerap memberikan sekelibat gambaran realita-nya. Tidak sedikit juga pembuat film yang menarik pengalaman pribadi dan sekitarnya dalam mencipta sebuah karya.

​

Sementara itu, program ini bertolak dari pengamatan bahwa Asia Tenggara adalah kawasan yang unik: memiliki iklim, alam, sosial-budaya dan sejarah yang serupa, dan yang terpenting, relatif rukun. Tetapi rukun yang canggung, karena sepertinya tidak pernah benar-benar saling mengenal.

​

Maka sebagai perpanjangan semangat itu, diskusi kali ini mencoba menyambungkan realita kita dan tetangga dengan yang tergambar dalam film. Mari simak pendapat para pembicara diskusi kali ini, tentang pernyataan beberapa filmmaker dalam jejeran film pilihan juru program terhadap kenyataan hidup di berbagai penjuru kawasan Asia Tenggara. Di tengah arus dunia yang sedang semakin mengeras dan mengurat tegang, akan ke manakah Asia Tenggara di masa depan? Akankah kita jadi halaman tarung adikuasa saja, atau jadi kekuatan yang diperhitungkan, atau hanya berdelusi saja mempunyai kekuatan yang diperhitungkan itu?

​

Pembicara

John Badalu (Southeast Asia Festival Delegate, Berlinale)

Yosef Djakababa (Director Center for Southeast Asian Studies-Indonesia)

​

Moderator

Ifan A. Ismail (Koordinator Program kineforum)

JOHN BADALU

John Badalu adalah salah satu pendiri Q! Film Festival (2002) --sebuah festival film yang ditujukan until mengadvokasi publik mengenai isu LGBT. Selain itu, ia juga sempat menjabat sebagai Manajer Teater Goethe-Institut Jakarta dan Cultural Assistant di Istituto Italiano Di Cultura. Sejak 2011, John bekerja sebagai Delegasi Festival dan Juru Program untuk beberapa festival film international di dunia, termasuk Berlin International Film Festival, Shanghai International Film Festival dan QCinema Film Festival (Filipina). Selain itu ia juga menjadi (co-)produser untuk beberapa film, termasuk "Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta" (Mouly Surya, 2013) dan "Vakansi Yang Janggal Dan Penyakit Lainnya" (Yosep Anggi Noen, 2012).

YOSEF DJAKABABA

Dengan pengalaman belasan tahun dalam dunia riset akademik dan pendidikan tinggi dalam studi Asia Tenggara, sejarah Indonesia, hubungan internasional, serta pengembangan dan studi budaya, Yosef Djakababa adalah salah seorang pengajar di School of Government and Global Affairs di Universitas Pelita Harapan, Jakarta. Ia juga salah satu Country Representative untuk American Institute for Indonesian Studies --sebuah organisasi pendidikan non-profit yang bertujuan untuk memajukan pengembangan studi bahasa Indonesia di Amerika Serikat. Sejak 2011, Yosef juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Sosial Asia Tenggara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

IFAN A. ISMAIL

Pertama kali terjun ke dunia film dan televisi sejak 2004 dengan turut menulis naskah acara komedi. Tahun 2010, merambah ke dunia film dan meraih Piala Citra 2013 untuk Skenario Adaptasi Terbaik melalui film Habibie & Ainun (berpartner bersama Gina S. Noer). Juga tergabung dalam situs kajian film, RumahFilm.org, dan tergabung dalam tim Eric Sasono yang melahirkan buku "Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia" pada 2011. Kini, sembari tetap melanjutkan menulis skenario, juga menjabat sebagai Koordinator Program kineforum.

bottom of page