Dilihat pada kondisi saat ini, ada usaha dari beberapa koreografer yang memperlakukan video sebagai media ekspresi dan media ungkap, yang merujuk pada dance film, bukan hanya sekadar merekam tarian sebagai bahan dokumentasi belaka. Dalam dance film diperlukan kesatuan konsep dan relasi dari setiap medianya, sehingga pada akhirnya menawarkan karya tari dalam media film.
Dance film adalah sebuah genre yang masih cair dan wacananya masih berkembang. Dalam platform internasional, dance film sudah cukup dikenal luas. Akan tetapi di Indonesia, hal ini masih merupakan hal baru yang perlu diangkat dan diperkenalkan lebih luas kepada masyarakat seni maupun pemerhati dan kalangan publik pecinta seni pertunjukan.
Dilihat dari sejarahnya, Dance Film telah ada sejak tahun 1940-an yang diperkenalkan salah satunya oleh Maya Deren dari Rusia. Sementara di Indonesia, koreografer pertama yang membuat Dance Film adalah Sardono W. Kusumo di tahun 1974 berkolaborasi dengan sinematografer Robert Chapell. Film ini adalah film abstrak dengan dipadu unsur koreografi dan koneksi media yang begitu kuat, sehingga visual yang puitik adalah impresi dari film itu sendiri. Kemudian sutradara Garin Nugroho dengan Opera Jawa (2006), sebuah film tanpa dialog yang memiliki alur cerita yang jelas dengan para pemain berkomunikasi lewat tarian, sehingga estetika yang tinggi tampak dalam karya visual. Tahun 2003, koreografer Chendra Effendy berkolaborasi dengan pembuat film asal Malaysia, Sherman Ong, dan melahirkan Exodus: Wanita yang Berlari. Chendra lantas menyelenggarakan DanceEmotion, sebuah festival dance film beserta workshop dengan pembicara Gotot Prakosa. Sejak saat itu, muncul Jecko Siompo yang sering berekspresi dengan video. Namun danceEmotion ada untuk pertama dan terakhir kali. Deny Ardianto (sutradara) menggunakan media dance film untuk karya ujian akhir S3-nya dari ISI Yogyakarta dan Yola Yulfianti (koreografer dan penari) untuk karya ujian akhir S2-nya dari Institut Kesenian Jakarta. Perbedaan latar belakang disiplin ilmu keduanya, membuat membuat genre dance film dapat dikatakan cair dan masih terus diperdebatkan di forum internasional.
Di dunia pop, video klip Justin Bieber yang memperlihatkan dua penari dalam setting rumah berinteraksi dengan gaya tari pop menjadi populer dan video klip ini lantas ditiru oleh penari dan koreografer pop di Indonesia. Gejala ini baik karena interaksi koreografer, penari, maupun filmaker terlihat mudah dan seru.
Untuk itulah program Komite Tari DKJ kali ini ingin memperkenalkan dance film sebagai sebuah media ungkap seni. Dalam tahap awal, pengumpulan hasil karya dance film masih bersifat kuantitas dan bentuk kurasi (kuratorial) masih bersifat pengklasifikasian dari hasil karya yang telah terkumpul. Diskusi akan dimulai arahkan pada “frame sebagai panggung”.
Program pemutaran Dance Film akan diselenggarakan per dua bulan sekali, agar ke depannya dapat menjadi salah satu bentuk sosialisasi seputar dance film. Harapan di masa mendatang, dari forum ini sini akan tumbuh karya-karya baru yang lebih menunjukan kualitas dan mampu menembus forum internasional.