Sekolah Kami, Hidup Kami hadir di layar kineforum dalam program Menolak Bala (15-28 Mei 2017).
Diputar sebelum Give Up Tomorrow.
The inspiring finale is Sekolah Kami, Hidup Kami (Our School, Our lives) by Steve Pillar Setiabudi. Here we see a group of high school boys who set about to expose corruption in their school. Watching the school’s vice headmaster and teachers look dumbfounded at their students who take hold of microphones to show the evidence they have carefully compiled, is a sight to behold. It upturns our familiar notions of who is supposed to be on top and who bottom. And in so doing, the pleasure is very satisfying.
(Ann Lee, Off the Edge Magazine, September 2008)
Awal 2008, Steve Pilar Setiabudi menelepon dari Solo. Intinya, ada perubahan fokus cerita yang hendak direkamnya. Awalnya Pilar hendak menceritakan sejumlah remaja usia SMA di Solo yang baru punya hak pilih, dan bagaimana mereka menyalurkannya pada pemilihan presiden. Namun, siang itu dengan latar belakang suara yang riuh-rendah, Pilar mengabarkan ia sedang berada di tengah ‘persidangan’ siswa SMAN 3 Solo terhadap jajaran guru mereka yang diduga melakukan korupsi. Ringkas cerita, kurang dari satu bulan setelah telepon di atas, tuntaslah dokumenter pendek Sekolah Kami, Hidup Kami. Dokumenter ini menjadi salah satu dari 10 film pendek beragam genre yang tergabung di dalam kompilasi 9808 Antologi 10 tahun Reformasi Indonesia (Proyek Payung, 2008).
Pada Mei 2008, 9808-Antologi 10 tahun Reformasi Indonesia diputar perdana untuk publik di kineforum. Sekolah Kami, Hidup Kami menjadi penutup antologi berdurasi total 115 menit tersebut. Keterlibatan penonton saat menyaksikan film ini sungguh menarik. Tepuk tangan yang kerap diselang-seling dengan komentar seakan menonton pertandingan olahraga, “Hajar!”, “Biar rasa!” terdengar ketika adegan persidangan berlangsung. Selanjutnya, perjalanan antologi ini pun bergulir. Rangkaian pemutaran dan diskusi berlangsung di berbagai kota, komunitas, institusi pendidikan. Yang juga menjadi ‘bonus’ adalah terseleksinya 9808 di belasan festival film antara lain Busan International Film Festival (2008), Rotterdam International Film Festival (2008), Lens Politica, Helsinki (2009), hingga Beijing Independent Film Festival (2013).
Secara konsisten, Sekolah Kami, Hidup Kami, mengundang reaksi positif baik dari penonton maupun pengulas (reviewer) di manapun diputar. Salah satunya seperti kutipan dari ulasan Ann Lee, akademisi dan budayawan asal Malaysia di atas. Usia film ini beserta sebagian besar film-film yang termasuk di dalam 9808, semakin panjang ketika memasuki era pemutaran online. Awalnya, sejak 2014 9808 bisa ditonton secara ‘secara resmi’ (yang dimaksud di sini: sepengetahuan/seizin pembuat film) melalui Viddsee yang berbasis di Singapura. Sekolah Kami segera menarik angkatan penonton baru (di lingkup Asia Tenggara) dalam jumlah besar.
Lalu, ‘kejutan’ kecil terjadi pada kisaran Agustus 2016. Sekolah Kami, Hidup Kami menjadi perbincangan hangat di kalangan netizen kala itu. Tak jelas betul apa dan siapa pemicunya. Yang agak memprihatinkan kami, sebagian netizen tidak menyadari bahwa peristiwa yang terjadi dan terekam pada film itu sudah berlangsung lama. Hampir delapan tahun yang silam. Fokus perbincangan masih juga sama, mengenai kehebatan para siswa SMAN 3 Solo mengungkap korupsi di sekolah mereka. Imbas kesalahpahaman para netizen ini bukan tidak ada. Beberapa alumni SMAN 3 Solo yang menjadi subyek pada film Sekolah Kami, Hidup Kami ada yang ‘disapa’ oleh pihak bekas sekolah mereka. Masih seperti lagu lama, rupanya pihak SMAN 3 tetap berkeberatan dengan terusiknya ‘nama baik’ sekolah akibat kasus korupsi itu. Tapi sebetulnya yang lebih memprihatinkan, konon, korupsi masih juga terjadi di sekolah itu. Kalau ini betul (marilah berharap tidak), apa artinya? Apa yang salah? Apa yang belum sanggup ditawarkan oleh film ini atau film-film yang bicara soal korupsi di Indonesia?
Sila pembaca bayangkan. Per hari ini, film Indonesia yang mengusung tema korupsi sudah bukan lagi ‘barang baru’. Katakanlah kita berasumsi film ‘anti korupsi’ dimulai sejak Sekolah Kami, Hidup Kami yang pada tahun ini berumur sembilan tahun. Lalu kita cek pemberitaan mengenai korupsi di Indonesia saat ini. Baik saya maupun kawan-kawan yang terlibat di dalam Proyek Payung, termasuk tentunya Pilar, kerap mempertanyakan ada tidaknya fungsi dari film-film seperti yang kami buat dan rangkum di dalam 9808. Kami mengakui, sembilan tahun silam, 9808 Antologi 10 Tahun Reformasi Indonesia, ‘berhasil’ pada tatanan menciptakan euphoria, alias kegirangan sesaat. Yang tak bisa kami antisipasi saat itu adalah, euphoria yang ‘kebablasan’ bisa berakibat tidak adanya rangkaian aksi yang produktif guna mengubah perilaku. Pastinya kami sadar, ini bukan sepenuhnya tugas pembuat film. Tapi, tidakkah, dari perilaku pembiaran atas korupsi kemudian menindaklanjuti korupsi (seperti yang dicontohkan subyek Sekolah Kami, Hidup Kami) pernah muncul pertanyaan: apa langkah berikutnya? Satu peristiwa pembongkaran korupsi yang terekam oleh kamera belum cukup menciptakan perubahan yang permanen. Karenanya, diskusi paska putar Sekolah Kami, seharusnya bukan lagi fokus pada selebrasi keberanian siswa SMAN 3 Solo sembilan tahun yang silam. Idealnya, yang terjadi adalah percakapan yang lebih kontekstual untuk kondisi sekarang, misalnya: haruskah sekolah yang terbukti melakukan korupsi ditutup izin operasionalnya? Atau minimal, sanksi hukum apa yang harusnya diterapkan pada sekolah/institusi pendidikan yang terbukti melakukan korupsi?
Menyesalkah kami pernah membuat 9808 Antologi 10 Tahun Reformasi Indonesia? Pasti tidak. Sejujurnya kami bangga. Tapi, seperti rangkuman obrolan saya dengan Pilar ketika tahun lalu Sekolah Kami, Hidup Kami tiba-tiba menarik perhatian netizen, perlu ada niat ‘tahu diri yang teramat sangat’ dari kami semua (sukur-sukur pekerja seni/kreatif beragam lini), kalaupun tugas kita sekedar ‘memfasilitasi’ perubahan, barangkali perlu juga ada upaya untuk mengevaluasi dan juga mendefinisikan ulang ‘keberhasilan’ hasil kerja kita. Benarkah cukup diukur dari capaian jumlah penonton? Atau jumlah festival/penghargaan? Di luar itu, adakah parameter lain? Apa yang (harusnya) atau tepatnya masih bisa kita lakukan? Semua pertanyaan ini setidaknya memperjelas satu hal: pembuat film tidak mungkin bisa bekerja sendirian, apalagi di luar konteks. Dan semakin tidak mungkin lagi tanpa adanya penonton.
Salah satu inisiator 9808 Antologi 10 Tahun Reformasi (bersama Edwin dan Hafiz). Penulis Skenario Film. Anggota Komite Film Dewan Kesenian Jakarta.
Comments