top of page

Surat dari Praha: Masa Lalu yang Tiba-tiba Tiba


Artikel ini disalin dari Cinema Poetica.

Surat dari Praha sempat hadir di layar kineforum dalam program Arus Bawah (3-16 April 2017).

 
Surat dari Praha (Angga Dwimas Sasongko, 2016)

Jaya, tokoh utama dalam film Surat dari Praha besutan Angga Dwimas Sasongko, dengan tegas mengatakan bahwa ia bukan komunis. Pernyataan ini berfungsi efektif dalam beberapa aspek. Pertama, Surat dari Prahatampil tak berpihak pada ideologi kiri, yang mana bila iya, bisa sekali film ini dicekal. Kedua, pernyataan tersebut juga berhasil membantah penuturan umum yang berkata musuh Orde Baru hanya komunis semata. Dalam Surat dari Praha tergambar bahwa keragaman ideologis selama Orde Baru mengerucut menjadi dua: yang mendukung dan yang melawan. Kelompok yang terakhir disebut disingkirkan atas nama kekuasaan—seperti Jaya dan kawan-kawannya di Praha.

Sejak awal film, Surat dari Praha berusaha keras melekatkan Laras dengan Jaya. Mulai dari kebutuhan uang, wasiat yang merepotkan, keengganan Jaya memberikan tanda tangan, hingga perampokan di taksi. Logika cerita lantas terbangun dengan baik. Akan tetapi, saking banyaknya hal yang menimpa Laras, kedekatan antara Jaya dan Laras terasa tak berkembang. Perpindahan selalu terasa tiba-tiba—dari asing ke akrab, akrab ke renggang, lalu akrab lagi. Tiga kali Laras pergi dari Jaya, tiga kali pula ia kembali lagi lantaran pengkondisian cerita.

Tokoh Jaya, di balik keteguhannya, juga terasa begitu labil. Memang, ia sudah tua dan kesepian. Perempuan pujaannya telah tiada, dan informasi tersebut ia ketahui lewat Laras—seorang perempuan ketus yang tiba-tiba datang meminta tanda tangan. Ketidaktahuan Laras mengenai Jaya, ditambah dengan penolakan Jaya, membuat keduanya berseteru—salah Laras juga, tidak mencari tahu dulu. Baru ketika Laras membuka suratnya, yang artinya juga melanggar titah Jaya untuk tidak menyentuh apapun, ia mengetahui siapa itu Jaya. Untungnya setelah itu, perlahan keduanya kian akrab—meski, ya itu tadi, ada renggangnya juga.

Tutur Jaya dan Laras lantas berkutat seputar masa lalu, yang dipantik oleh surat-surat dari Praha yang Laras baca. Mungkin bisa jadi berbeda jika barang yang Laras jamah adalah buku-buku di rak–atau bila foto Sukarno ia pandangi dengan pertanyaan. Bisa jadi, seperti Night Train to Lisbon (2013) garapan Billie August, narasi akan membahas betapa subversifnya Jaya dahulu. Tapi, yang Laras telaah adalah partitur musik dan surat dari sang ibu—suatu artefak yang sangat personal. Tidak heran bila kemudian Surat dari Praha bicara tentang cinta dan musik yang melintasi dimensi ruang dan waktu.

Wacana sosial-politik hanya mengintip dari kejauhan, menunggu giliran. Jaya tidak berkesempatan berkoar banyak ihwal sikap politiknya. Alasan Jaya menolak Soeharto tidak terucap hingga akhir, sehingga motifnya meninggalkan Sulastri dan menderita di Praha tidak terjelaskan. Bisa jadi juga pembuat film Surat dari Praha mengharapkan stigma tentang Orde Baru sudah cukup menjadi alasan di benak penonton. Apapun itu, imbasnya adalah tokoh Jaya jadi kurang mendalam. Walau demikian narasi tetap berjalan aman, karena tokoh Laras—yang mendampingi tumbuh-kembang Jaya sepanjang cerita—juga tidak peduli-peduli amat sama politik. Ia lebih peduli dengan keberlangsungan hidupnya, warisan dari ibunya, serta sangkut paut Jaya dengan keluarganya.

Yang menarik dari Surat dari Praha adalah masa lalu yang tidak pernah nampak secara visual—meski amat dominan dalam menggiring cerita. Tidak ada kilas balik, hanya ada imaji akan Sulastri—itupun dalam rupa yang sudah tua. Seakan-akan berhadapan dengan Laras sudah cukup untuk menggali masa lalu Jaya. Laras, dengan surat dan musik yang ia bawa (plus baju pinjaman dari Jaya), menjadi nostalgia yang hidup dan berwujud. Ia memiliki raga dan jiwa, yang mampu menawarkan pertanyaan dan rasa—yang melebihi surat, musik, maupun kenangan akan Sulastri. Tawaran Laras itupun tersimpul manis di akhir film, dengan tanpa penggarisan lebih lanjut mengenai masa depan keduanya.

Yang Tua, Yang Berkonflik

Ada sebuah pola—kalau bukan formula—yang menghubungkan tiga film terakhir Angga Dwimas Sasongko. Pertama, film-film Angga selalu menghadirkan relasi anak muda dengan orangtua. Keberjarakan antara orangtua dan anak, yang diceritakan di awal film, menjadi hal yang film tuntaskan di akhir. Kedua, film-film Angga juga selalu menampilkan konflik sosial-politik. Orangtua dalam film-film Angga merupakan sosok yang mengalami konflik sosial-politik, sementara anak-anaknya menjadi generasi yang menanggung imbasnya.

Dalam Surat dari Praha, Laras tidak dekat dengan Sulastri. Namun kemudian ia mendapat kepercayaan untuk bertemu dengan Jaya. Kepercayaan tersebut menebus dinginnya hubungan ibu-anak, yang konon disebabkan oleh ketidakharmonisan Sulastri dengan suaminya. Relasi keduanya berujung manis ketika sang ibu pun tahu putrinya pandai bermain piano—meski fakta ini tidak diketahui Laras. Dalam tafsir-tafsir tertentu, ketidaktahuan Laras bisa jadi nampak sebagai keluputan cerita. Tapi, di sisi lain, perkembangan cerita tersebut menghadirkan sebuah kehangatan tersendiri melalui ketuntasan relasi keduanya.

Relasi orangtua dan anak juga ada di dua film sebelumnya. Dalam Cahaya dari Timur, kita terhampar dengan ragam sikap orangtua terhadap minat sepakbola anak-anaknya. Ada yang didukung, seperti Alfin, ada pula yang awalnya tidak didukung seperti Jago—sosok Salembe pun lekat dengan fakta kematian orangtuanya oleh aparat negara. Relasi orangtua bahkan kian kentara dalam Filosofi Kopi. Padahal dalam cerpen Dewi Lestari, bukan itu yang menjadi perkara utama. Filosofi Kopi versi cerpen lebih menyoal masalah kesempurnaan—terkait kopi Ben’s Perfecto.

Lebih dari itu, film-film Angga juga rutin mengangkat konflik sosial-politik, yang selalu diresapkan ke ranah personal para protagonisnya. Latar belakang konfliknya tidak dielaborasi, tetapi dialami, dan menjelma menjadi motif-motif para tokoh dalam film. Penonton tidak diarahkan untuk paham mengenai sikap politik Jaya, nasib petani seperti ayah Ben, maupun juntrungan dari konflik Passo-Tulehu. Penonton cukup menikmati premis cerita: perjalanan Tim Maluku U-15 dalam Cahaya dari Timur, tantangan dalam Filosofi Kopi, hingga syarat warisan dalam Surat dari Praha. Mendalami esensi konflik yang tercantum dalam film, itu urusan lain.

Pola-pola ini, terlepas dari keberhasilannya memikat penonton, merupakan tawaran yang menarik. Tidak sulit bagi penonton, terutama yang berusia muda, untuk merasa terwakilkan dalam film. Protagonis seumuran dan relasi anak dengan orangtua, adalah dua sebabnya. Bagi yang alergi dengan wacana politik, tidak perlu memutar otak banyak-banyak, sebab yang politis telah usai di latar dan penokohan. Walau begitu, bukan berarti suatu konflik sosial jadi tidak penting ketika ia tidak masuk ke ranah personal. Justru sebaliknya, karena bisa begitu berdampak hingga ranah personal, suatu konflik sosial itu patut untuk dihadirkan dan ditelaah. Dan karena itu jugalah, film-film Angga penting untuk terus disimak.

Surat dari Praha | 2016 | Durasi 94 menit | Sutradara Angga Dwimas Sasongko | Penulis M Irfan Ramli | Produksi Visinema Pictures, Tinggikan Production, 13 Entertainment | Negara Indonesia | Pemeran Julie Estelle, Tio Pakusadewo, Widyawati, Rio Dewanto, Chicco Jerikho, Jajang C Noer, Shafira Umm

 

Sampai saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Psikologi UNIKA Atma Jaya. Hubungannya dengan film baru sebatas kenal, belum sampai ke pelaminan.

Temukan berbagai tulisan menarik lainnya di CINEMA POETICA - kolektif kritikus, jurnalis, peneliti, dan pegiat film di Indonesia yang berfokus pada produksi dan distribusi pengetahuan sinema bagi publik.

Comments


bottom of page