top of page

DARI SABANG DAN MERAUKE

Disebutnya kedua kota ini dalam sebuah lagu bernuansa nasionalisme membuat kita percaya pada keagungan bentangan negeri ini. Sejak SD, dengan embel-embel “lagu wajib”—dan anak kecil mana yang tidak gentar dengan istilah “wajib”—kita jadi sadar setiap kali melihat Sabang dan Merauke di peta: penanda sebuah negeri yang sangat luas, dan kita diminta bangga karenanya. 

 

Sayangnya, berhenti di situlah nasib Sabang dan Merauke (dan sekitarnya): penanda belaka. Diam-diam dianggap semacam patok batas yang kebetulan ditinggali. Ketika yang tinggal di sana protes dan menuntut perbaikan, reaksi kita yang berjiwa nasionalis adalah mengirim pentung dan sepatu bot lebih banyak ke sana. Demi menjaga patok batas tadi tidak bergeser, supaya negeri tetap luas dan agung. Sejak itu, Sabang dan Merauke hanya mengirimkan kabar dalam stereotipe tertentu. Sumber konflik, orang-orang yang susah diatur, kaku, dan sebagainya. 

 

Mungkin bisa dianggap sebagai pendalaman atau minimal lanjutan dari program Nusa yang Lain, program Dari Sabang dan Merauke ingin mengintip ulang sisi lain kehidupan di kedua propinsi yang selama ini dimanis-manisi dengan sebutan “saudara”, tetapi diperlakukan seperti saudara tiri. Film-film dalam program kecil kami ini ingin memberikan perspektif dari sana. Bahwa manusia-manusia Sabang dan Merauke pun berhak punya cara hidupnya sendiri, mimpi-mimpi dan kecemasannya sendiri, yang jangan-jangan selama ini kita tepiskan, mentang-mentang hidup di Jakarta yang serba ada. 


Dalam program ini juga, terutama kami dengan bangga menyajikan kompilasi film pendek dari dan bertema Aceh, sebagai bagian dari praktik peserta Kineforum punya Kelas sesi Film Programming yang lalu. Bersama film-film ini, dan sesi diskusi yang menyertai, mari berusaha lebih saling memahami.

 

Sampai jumpa di pemutaran kami!

IGFEED - November2019 - 6.jpg
IGFEED - November2019 - 7.jpg
bottom of page