top of page

Pacar Ketinggalan Kereta: Ketika Teguh Karya Membuat Film Musikal


Pacar Ketinggalan Kereta adalah 1 dari 20 film panjang dalam program Sejarah adalah Sekarang 9 yang hadir di KINEFORUM sepanjang 9-29 Maret 2018

 

Genre musikal harus diakui mempunyai keunikan dibanding genre lain. Ia mempunyai pendekatan khusus dengan gaya tuturnya. Mengapa khusus? Film musikal memiripkan cara bercerita dengan operet atau sandiwara musikal. Pemain seolah mempersembahkan sebuah sajian di atas panggung, dalam beberapa momen pemain seolah melihat ke arah penonton dengan menatap kamera.

Musikal punya kekhasan dibanding genre film lain yang lebih ‘konvensional’. Para pemeran dituntut untuk dapat memadukan akting dengan lagu (serta tarian) menjadi satu paduan yang menarik. Dalam sejarah perfilman Hollywood, film musikal biasanya bersumber dari pertunjukan teater atau Broadway yang diangkat ke layar perak. Sebutlah film The King And I (Walter Lang, 1956) yang diangkat dari pertunjukan teater musikal berjudul sama karya Rodgers & Hammerstein, atau film nostalgia era 50-an Grease (Randal Kleiser, 1978) yang diadaptasi dari pentas Broadway.

Dalam alam budaya Indonesia, paduan teater dengan lagu dan tari bukanlah hal yang asing. Lenong contohnya, menyatukan antara pertunjukan teater komedi khas Betawi dengan musik gambang kromong. Selain itu ada pula stambul, ketoprak, ludruk, dan lain-lain yang punya tradisi menyatukan dua hal tersebut.

Lagu-lagu dalam film maupun teater musikal, seperti halnya teater tradisional Indonesia, punya peran yang penting dalam pertunjukan. Lagu dan tari bukan sekadar ‘pertunjukan selingan’ atau intermezzo dari sajian utama, namun menjadi satu kesatuan dan unsur yang penting. Musik dan tari menjadi cara storytelling yang dipilih oleh perancang pertunjukan guna menyampaikan mood, isi hati atau bahkan keputusan para karakter secara tepat, yang mungkin akan lebih efektif dibanding adegan maupun dialog standar-naratif. Kisah antara Ryan Gosling dan Emma Stone dalam La La Land (Damien Chazelle, 2016) mungkin jadi biasa saja bila chemistry keduanya hanya disampaikan dengan dialog-dialog ‘konvensional’.

Menurut saya film musikal punya sifat yang cenderung komikal, walau tidak selalu begitu. Komikal karena para pemain (dalam bahasa Betawi) ‘ujug-ujug nyanyi’ alias tiba-tiba bernyanyi di antara dialog yang tengah berlangsung, seringkali ditingkahi para karakter lain yang ikut menari di latar belakang dengan koreografi yang sudah disusun rapi. Terkadang hal tersebut bisa memancing gerrr, entah memang dikondisikan untuk memancing tawa atau tidak. Hal tersebut tak akan terjadi di luar film musikal.

Dalam perfilman Indonesia, Tiga Dara (Usmar Ismail, 1956) adalah satu di antara film Indonesia periode awal yang mencoba pendekatan musikal. Hasilnya: sukses besar. Padahal, film itu dibuat Usmar Ismail hanya untuk menyelamatkan Perfini dari kebangkrutan. Kesuksesan ini diikuti film Asmara Dara (Usmar Ismail, 1958). Dua film ini memang sangat ‘nge-pop’ dan komersil, jauh berbeda dengan karakter penyutradaraan Usmar Ismail di film lain, seperti dalam Lewat Djam Malam (1954), atau Anak Perawan di Sarang Penyamun (1962) yang sungguh realis.

Dalam film-film Benyamin, terutama di paruh awal era 70-an seperti Biang Kerok (Nawi Ismail, 1972), Ratu Amplop (Nawi Ismail, 1974), atau Benyamin Raja Lenong (Syamsul Fuad, 1975), dan lain-lain, Bang Ben menghiasi film-filmnya dengan adegan tari dan nyanyi yang tak cuma jadi selingan, namun sebagai sajian utama yang ditunggu-tunggu penonton. Karena lagu-lagu karyanya, Benyamin pernah menjadi salah satu aktor Indonesia dengan bayaran termahal.

Warkop DKI, raja komedi dekade 80-an, sempat bereksperimen membuat film dengan pendekatan musikal dalam Sama Juga Bohong (Chaerul Umam, 1986), yang skenarionya ditulis Nano Riantiarno. Sangat berbeda dengan film-film lain yang dipenuhi dengan slapstick a la komedian legendaris Three Stooges, contohnya dalam Maju Kena Mundur Kena (Arizal, 1983). Sama Juga Bohong harus diakui sangat berbobot dalam segi cerita dan artistik, namun gagal di pasaran.

Hal itu juga diakui Kasino, yang dikutip dalam buku Main-Main Jadi Bukan Main (Rudy Badil et al., 2010), "Waktu itu kan, lagi ngetop-ngetopnya Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Tapi beda ya. Penonton Warkop maunya, ya, kayak gitu. Kami memakai Ami Prijono (sutradara dalam Jodoh Boleh Diatur), Chaerul Umam, Ali Shahab (penggarap Manusia 6.000.000 Dollar), itu kan berarti kita nyoba. Tapi yang mencapai angka 300.000 penonton ke atas rata-rata yang memakai sutradara Arizal, Tjut Djalil. Nah pemilik modal konsepnya bisnis, ya itulah (yang dipakai)."

Teguh Karya, sang sutradara peraih Piala Citra terbanyak, yang sebelumnya menggarap film sejarah kolosal macam November 1828 (1978) atau Doea Tanda Mata (1984), atau film pop Badai Pasti Berlalu (1977), dalam film bioskop terakhir di karier dunia penyutradaraannya yang panjang, membuat sebuah film drama musikal, Pacar Ketinggalan Kereta (1988).

Berawal dari Kecemburuan Sang Ibu

Kisah dalam film ini berawal dengan pesta ulang tahun pernikahan ke-25 Bu Padmo (Tuti Indra Malaon) dan Pak Padmo (Rachmat Hidayat). Muncul kecemburuan Bu Padmo karena kehadiran Tante Retno (Niniek L Karim), sekretaris pak Padmo yang seorang janda cantik. Masalah bertambah pelik karena sopir keluarga Pak Padmo, Martubi (Alex Komang) berpacaran dengan Juminten (Nani Vidia), pembantu dari Tante Retno. Di sisi lain, anak Pak Padmo, Heru (Onky Alexander) berpacaran dengan Saripah (Nurul Arifin), yang sering disindir Bu Padmo karena jalannya pincang.

Kecemburuan makin menjadi ketika Martubi ketahuan sering menjemput Tante Retno supaya bertemu Juminten. Suatu waktu, Bu Padmo menangkap basah Tante Retno tengah bermesraan dengan seorang laki-laki di mobil Pak Padmo. Padahal itu bukan Pak Padmo, namun semuanya sudah terlanjur.

Solusinya: Martubi dan Juminten dikeluarkan dari pekerjaannya masing-masing. Kecemburuan ini juga menjalar pada hubungan anak Pak Padmo, Heru dengan teman-temannya, salah satunya Arsal (Iwen Darmansyah), yang juga anak dari Tante Retno. Arsal diduga mendekati Saripah, pacar dari Heru. Kenyataannya, Arsal naksir dengan Riri (Ayu Azhari), adik dari Heru. Hal ini mencapai klimaks ketika kelompok Heru berhadapan dengan Arsal cs. Yang jadi korban justru Martubi dan Cicih (Camelia Malik) yang mencoba melerai mereka.

Di samping itu ada juga kisah Kang Samingun (Didi Petet), bapak asuh dari Martubi dan Juminten, yang berambisi untuk menikahi Juminten. Mengambil kesempatan Martubi yang masih dirawat pasca bentrokan Arsal versus Heru, Samingun leluasa membawa pulang Juminten guna mempersuntingnya. Dengan kereta, Martubi mengejar pulang guna merebut kembali sang kekasih.

Film ini mempunyai banyak masalah yang coba dijejalkan dan terlihat sibuk hingga bagian akhir. Mulai dari kecemburuan Bu Padmo yang tiada akhir, kekecewaan Heru yang merasa pendapatnya tak pernah didengar oleh kedua orang tuanya, perseteruan Heru versus Arsal yang salah paham tentang Saripah, hingga Martubi yang coba merebut kembali Juminten dari Kang Samingun. Penonton diajak mengingat-ingat jalan cerita dan kejadian-kejadian sebelumnya. Beruntung, semua penyelesaian masalah dapat digambarkan secara baik, walaupun cheesy, dengan diiringi lagu-lagu ala operet.

Pendekatan Musikal

Layaknya film musikal pada umumnya, lagu-lagu disisipkan di tengah percakapan serius, lengkap dengan koreografinya. Bahkan perkelahian pun dibuat macam koreografi video klip lagu hit sang raja pop Michael Jackson, Beat It. Setelah lagu selesai, kembali lagi pada percakapan serius.

Jika dilihat lagi, memang beberapa adegan mengundang tawa, walau belum tentu dimaksudkan untuk komedi. Bayangkan: abang-abang dan pekerja bangunan yang sangar dan brengosan tiba-tiba berjoget mengikuti irama lagu dibelakang Alex Komang yang tengah ngamuk pada Didi Petet secara musikal.

Penyutradaraan Teguh Karya tetap sempurna, walau dalam genre yang agak asing baginya. Opening film yang spektakuler, menampilkan para pemain muda yang menari di jalanan dengan susunan koreografi yang apik, mengikuti lagu tema pembuka yang disuarakan Atiek CB. Transisi antara lagu dengan dialog serius terasa halus dan tanpa gangguan, saya mencermati beberapa kali adegan yang diambil secara berantai tanpa jeda alias ‘one take shot’.

Pacar Ketinggalan Kereta sering dianggap sebagai karya Oom Steve (panggilan akrab Teguh Karya) yang berkompromi membuat ‘film komersil’. Meski anggapan ini tak sepenuhnya benar, film ini berakhir manis dengan meraih Piala Antemas untuk pencapaian penonton terbanyak di gelaran Festival Film Indonesia 1989. Dikutip dari situs filmindonesia.or.id, di ajang FFI 1989 film ini juga menyabet penghargaan Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Penata Artistik Terbaik, Penyuntingan Terbaik, Penata Suara Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik. Sebuah prestasi yang hingga kini bisa membikin iri: banjir piala dan terlaris sekaligus.

Mencoba Stand Up Di Tengah Gempuran Film Impor

Ketika film ini rilis, Indonesia tengah digempur film impor imbas dari kebijakan longgar pemerintah yang menerapkan politik udara terbuka atau open air policy di penghujung era 80-an. Tekanan politik pasar bebas sebagai paket sistem global yang ditawarkan negara maju, memungkinkan importir film bergerak lebih leluasa.

Di masa yang sama, pemerintah tengah menggalakkan cinta produk Indonesia, di tengah membanjirnya produk asing. Produk-produk Indonesia seolah terhimpit dan kalah populer dari produk asing yang dianggap lebih menaikkan prestise dan berkualitas.

Film Indonesia kalah saing dengan jumlah produksi menurun drastis, begitu juga dengan mutunya. Film Indonesia dicap bermutu rendah bahkan perusak moral, akibat mayoritas film Indonesia yang diproduksi bertema seks guna menarik penonton.

Di akhir film, ucapan salam penutup yang terpampang di layar seolah membawa pesan sekaligus kritik: “SEKIAN. Film ini seluruhnya buatan dalam negeri.” Viva Sinema Indonesia!

Pacar Ketinggalan Kereta | 1988 | Genre Drama, Musikal | Durasi 127 menit | Sutradara Teguh Karya | Penulis Arswendo Atmowiloto | Produksi NV Perfini | Negara Indonesia | Pemain Tuti Indra Malaon, Rachmat Hidayat, Niniek L Karim, Onky Alexander, Iwen Darmansyah, Nurul Arifin, Ayu Azhari, Alex Komang, Nani Vidia, Didi Petet, Camelia Malik

Referensi:

 

Relawan kineforum 2016. Peserta magang kineforum 2017.

bottom of page