top of page

“Sayang, Sayangilah Jiwamu” Film Festival: Sebuah Catatan Waras


Sayang, Sayangilah Jiwamu adalah program kolaboratif antara Kolektif Sayang Jiwa dan kineforum yang diadakan pada tanggal 6-8 Oktober 2017. Simak catatan acaranya di bawah ini.

 

Saat kebingungan harus mulai dari mana mengetik tulisan ini, saya teringat kelakar jawaban berupa template beberapa tahun lalu atas pertanyaan yang sering terlontar, “Kenapa kok milih manajemen? Apa nggak eman dengan gelar sarjana S1 psikologi-mu?”. Jawaban template tersebut adalah, “Saya merasa lebih cocok jadi klien daripada menjadi terapis atau psikolog”.

Awamnya para lulusan S1 Jurusan Psikologi yang melanjutkan jenjang sekolah lebih tinggi akan memilih jurusan magister psikologi sekaligus profesi psikolog-nya. Sebetulnya saya cukup serius dengan jawaban template tersebut. Seseorang yang memiliki gelar psikolog dan/atau M.Psi., dianggap telah mempelajari ilmu psikologi dan perilaku manusia lebih banyak daripada orang lain.Tetapi kuliah selama empat tahun, saya masih merasa terlalu dangkal untuk menjadi orang ‘itu’, atau mungkin saya terlalu rapuh. Untuk menjadi seseorang yang dipercaya memberikan opini terhadap kondisi mental/psikis mereka, menurut pendapat saya pribadi, masih sangat membebani.

Saya mencoba membaca-baca kembali buku kuliah-nya anak psikologi, Psychology Applied to Modern Life karya Wayne Eiten. Untung saya memiliki e-book buku itu untuk kemudian bisa meng-ctrl+F dan mengetik “mental health”. Saya menemukan di dalam buku ini disebutkan bahwa menurut Daniel Goleman (seorang psikolog dan jurnalis yang menulis tentang behaviour science) emotional intelligence lebih penting daripada intellectual intelligence. Kualitas EQ seorang individu lebih penting karena EQ yang menentukan arah motivasi hidup, penerimaan diri di dalam lingkungan sosial, pengalaman dan emosi positif, pengembangan diri yang baik, dan mental yang sehat. Emosi yang cerdas dan mental yang sehat (menurut saya) seperti ayam dan telur, susah menjelaskan mana yang duluan. Keduanya saling berhubungan, saling mempengaruhi secara timbal balik.

Topik kesehatan mental tidak akan pernah habis untuk dibicarakan. Tidak ada manusia yang memiliki 100% mental yang sehat. Setiap individu pasti mempunyai kapasitas atau potensi untuk mengalami keadaan mental yang tidak sehat, yang berbeda-beda porsinya antara individu. Tidak ada alat ukur dengan validitas dan reliabilitas kuat untuk mengukur secara kuntitatif kapatitas-tidak-sehat-mental individu. Tidak ada alat yang bisa memotret secara cepat, bagaimana kondisi kesehatan mental seseorang. Yang sehari-hari tampak sanguine, mungkin menyimpan pemikiran suicide attempt (kehendak bunuh diri). Yang sehari-hari tampak sangat introvert dan withdrawal (menarik diri), mungkin sedang nyaman tenggelam pada imajinasi-imajinasi untuk membuat sebuah kreativitas karya hebat. Butuh waktu lama dan banyak metode untuk mendiagnosa keadaan mental seseorang dan memutuskan apakah orang tersebut bermental sehat atau tidak. Diagnosa tidak dilakukan satu pihak, tidak hanya dilakukan pada seseorang yang terkait, namun juga dilakukan kepada lingkungan sosialnya (keluarga, lingkungan kerja, dll.). Intinya, bukan proses yang mudah untuk mengambil kesimpulan tentang keadaan kesehatan mental seseorang. Maka, apakah kita cukup pantas dengan spontan memberikan label dan/atau menunjukkan sikap yang discouraging?

sumber : facebook page festival film sayang sayangilah jiwamu

Festival film Sayang, Sayangilah Jiwamu

Di awal Oktober, Kolektif Sayang Jiwa bersama kineforum membuat sebuah program pemutaran film/festival film yang bertajuk Sayang, Sayangilah Jiwamu”. Festival film ini diselenggarakan tanggal 6-8 Oktober 2017 dan memutar beberapa film fiksi dan dokumenter yang mengeksplorasi manusia dengan kondisi kejiwaan yang berbeda. Menariknya, film-film yang diputar tidak terbatas pada jenis fiksi dan dokumenter saja, namun juga eksperimental dan mockumentary. Terdapat 6 (enam) film yang diputar di festival ini, antara lain: At the Very Bottom of Everything (Paul Agusta, 2010), Saia (Djenar Maesa Ayu, 2009), hUSh (Djenar Maesa Ayu & Ken Lume, 2016), Breaking the Chains (Erminia Coluci, 2013), Heaven for Insanity (Dria Soetomo, 2008), dan Pintu Terlarang (Joko Anwar, 2009). Saya berkesempatan menonton 4 film dari 6 film. Dua film yang lain tidak saya tonton karena sudah pernah di pemutaran lain.

Kolaborasi film-film yang diputar dalam festival ini sangat menarik. Dikarenakan temanyaadalah tentang kesehatan mental dan jiwa, maka cerita dalam film-film festival ini memberikan informasi dan ide terkait kesehatan mental secara eksplisit, yang sangat informatif untuk penonton awam. Singgah di festival film ini memberikan gambaran kepada penonton tentang perilaku mental yang sehat atau tidak sehat, baik dalam bentuk dokumenter maupun fiksi. Dalam Pintu Terlarang, tokoh Gambir adalah penderita schizophrenia dan mengalami delusi-delusi sensori dan visual oleh asosiasi ingatan dalam kognitifnya. Penonton akan termanipulasi dengan semua informasi yang ditampilkan di bagian awal-sampai-dengan-sebelum-akhir film ini, karena semua informasi tersebut adalah sebuah delusi dan halusinasi Gambir. Dokumenter Heaven For Insanity memperlihatkan perilaku-perilaku gangguan mental yang beranekaragam. Mulai dari gangguan kecemasan/anxiety, ADHD, catatonia, depression, schizophrenia, psychosis, dll. Heaven for Insanity mengambil subjek kisah Watmo yang dipaksa tinggal di Panti Rehabilitasi Yayasan Galuh di Bekasi, sebuah tempat penampungan para penderita gangguan jiwa. Panti ini merupakan alternatif problem solving untuk menempatkan anggota keluarga atau anggota masyarakat yang memiliki gangguan jiwa dan berperilaku maladaptive (meresahkan, mengganggu), mungkin karena secara ekonomi mereka tidak mampu memberikan perawatan (medis) yang ideal kepada penderita gangguan jiwa itu. Panti ini sebetulnya sangat jauh dari kondisi yang ideal dalam memperlakukan para penderita gangguan jiwa. Satu ruang aula mencampur pasien menjadi satu, beberapa pasien dikekang oleh rantai, tidur tanpa alas, sanitasi sangat tidak layak, perlakuan para petugas yang tidak terdidik secara medis, dan lain sebagainya. Heaven for Insanity menyampaikan dokumentasi nyata bahwa masyarakat masih belum paham tentang gangguan mental dan bagaimana cara menghadapi anggota masyarakat yang mengidap gangguan mental.

Terdapat kemiripan antara dokumenter Heaven for Insanity dan Breaking the Chains (Erminia Coluci, 2013). Masyarakat kota maupun di perkampungan juga sama-sama belum berempati kepada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Mungkin di kota masih ada tempat sepeti Panti Galuh atau yang lebih layak seperti Rumah Sakit Jiwa. Namun keadaannya sangat berbeda di daerah pedesaan di mana akses masyakarat untuk mendapatkan pelayanan yang berhubungan dengan kesehatan mental masih minim. Breaking the Chains lebih menampilkan kasus pasung terhadap anggota keluarga yang mentalnya terganggu. Pemasungan dilakukan karena kondisi ekonomi dan juga kurangnya akses masyarakat terhadap pengobatan medis maupun psikoterapi lainnya. Alasan lainnya, masyarakat masih kurang mempercayai perawatan psikiatris. Film ini mengambil tempat di desa-desa kawasan Cianjur. Di sana terdapat sebuah komunitas bernama Komunitas Sehat Jiwa yang secara aktif dan sukarela mengkampanyekan “anti-pemasungan” bagi penderita gangguan mental. Jumlah kasus pasung penderita gangguan mental di Cianjur dapat dikatakan sangat mengkhawatirkan. Sang Sutradara, Erminia Coluci bersama beberapa orang dari komunitas, mendatangi rumah-rumah --di mana terdapat keluarga yang salah satu anggotanya menderita gangguan mental-- memberikan penyuluhan tentang perawatan yang lebih humanis. Mereka bergerilya memberikan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa pemasungan bukan jalan keluar yang tepat. Setelah pemasungan dilepaskan, mereka secara rutin kembali untuk melihat perkembangan pasien. Komunitas Sehat Jiwa merupakan contoh brilian dari kegiatan kampanye bahwa para penderita gangguan mental juga memiliki hak untuk diperlakukan dengan baik.

dokumentasi pribadi saat menghadiri sesi diskusi setelah pemutaran kompilasi dokumenter

Film as a Catharsis

Festival film Sayang, Sayangilah Jiwamu juga memutar sebuah film yang dibuat oleh seseorang yang (pada saat pembuatan film tersebut) baru saja bangkit dari kondisi ‘terbawah’ mentalnya . At the Very Bottom of Everything (2010) disutradarai oleh Paul Agusta, didasarkan pada pengalaman pribadi sang sutradara saat menderita gangguan mental bipolar disorder, yaitu gangguan mental atau psikis yang ditandai perubahan suasana hati yang ekstrim. Sebuah mood swings yang terjadi secara tiba-tiba tanpa peringatan, tanpa pola waktu, atau stimulus yang pasti/konsisten. Suasana hati penderita suatu saat bisa terlihat sangat senang, bersemangat, dan antusias, namun juga bisa berubah menjadi sangat depresif hingga ke tingkat suicide attempts. At the Very Bottom of Everything adalah film monolog. Ada satu tokoh yang berdialog dengan diri sendiri. Seperti sebuah puisi, ada narasi dengan interpretasi makna bebas, namun tidak bebas-bebas amat karena scene-scene visualnya seakan memberitahu ada sebuah permasalahan di dalam diri yang signifikan. Sebelum pemutaran, terdapat pengantar yang disampaikan oleh penyelenggara bahwa At the Very Bottom of Everything akan menyajikan visual-visual yang sangat membuat tidak nyaman. Dan terbukti, satu orang keluar pada saat pemutaran itu (namun akhirnya kembali saat sesi diskusi), dan penonton di sebelah saya menutup-nutup matanya sesekali. Walaupun bahasa visual yang disampaikan film ini benar-benar sangat tidak nyaman, saya sadar bahwa film ini merupakan sebuah penerjemahan dari penderita bipolar tentang kondisinya. IMHO, At the Very Bottom of Everything bukan sekedar ingin menyampaikan seperti apa rasa, kondisi, ketidaknyamanan dan diri seorang penderita gangguan bipolar. Film ini bisa diapresiasi lebih dari itu: ini merupakan sebuah mental catharsis seorang Paul Agusta, bahwa ia masih fully functioning as human being, as director, as an artist. Tabik.

Festival Film yang Empati

Satu hal yang hampir terlupa, Festival Film Sayang, Sayangilah Jiwamu tidak hanya sekedar melakukan aktivitas menonton. Ada sesi diskusi seusai menonton, yang dihadiri oleh para ahli maupun filmmaker yang terlibat dalam pembuatan film. Sebuah diskusi merupakan sarana untuk mendapatkan informasi dengan lebih utuh tentang film dan topik yang disampaikan, i.e. kesehatan mental. Lewat sesi Q&A, terjadi penyelarasan pengetahuan antara sebelum dan sesudah menonton, dengan dikonfirmasi pada jalur yang tepat oleh moderator dan nara sumber. Yang terbaik dari Festival Film Sayang, Sayangilah Jiwamu adalah hadirnya psikolog di setiap sesi menonton. Penyelenggara mengundang psikolog, untuk ikut menonton, dan setiap awal pemutaran, pasti ada sebuah pengantar, kurang lebih bahwa "film ini akan menyajikan gambar-gambar yang cukup mengganggu, apabila tidak nyaman kami persilakan keluar, dan apabila dibutuhkan psikolog kami telah menghadirkan psikolog di sini untuk membantu”.

Sebelumnya saya telah menulis, bahwa tidak ada alat ukur dengan validitas dan reliabilitas kuat untuk mengukur secara kuantitatif kapatitas-tidak-sehat-mental tiap individu. Tidak seperti Bezita dari Planet Seiya yang memiliki kacamata untuk mengukur kekuatan lawan, ilmu psikologi belum memiliki kacamata semacam itu untuk mengukur kesehatan mental seseorang. Kesehatan mental bukan berat badan yang mudah dikuantifikasi dan mudah untuk “dikendalikan”, Apakah mungkin ada titik nisbi dalam kesehatan mental? Walau tidak ada alat ukur itu, walaupun juga tidak semua orang kuliah jurusan psikologi, setidaknya kita bisa lebih aware, lebih empati dan simpati kepada orang-orang di sekitar kita yang kondisi jiwanya memiliki kebutuhan yang lebih, tidak men-judge sembarangan, apalagi memperlakukan mereka dengan tidak baik. Tulisan ini dibuat bukan untuk mencoba melakukan diagnosa kepada diri sendiri. Saya merasakan.

 

‘One stop’ never stop self developing and people development. A beyond-cinematic movie reviewer. Impulsive traveler. Astonished blogger. Comic & manga addict. Outlier from normal distribution.

bottom of page