top of page

Sebuah Sketsa tentang Soegija dan Kemanusiaan


Soegija adalah 1 dari 20 film panjang dalam program Sejarah adalah Sekarang 9 yang hadir di KINEFORUM sepanjang 9-29 Maret 2018.

 

Belanda yang bercokol di Nusantara selama ratusan tahun, mulai terusik ketika Jepang mulai mengekspansi wilayah jajahannya ke Asia Tenggara. Akhirnya, Belanda berhasil ditaklukkan dan harus enyah di tahun 1942, ketika Jepang berkuasa di tanah Nusantara.

Pada 1945, situasi dunia berbalik lagi. Hiroshima dan Nagasaki dibom atom, menandai kekalahan Jepang dan kubu Axis dari Sekutu. Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Bukan berarti Indonesia langsung bebas merdeka dan aman tenteram. Belanda kembali berambisi menguasai tanah yang ratusan tahun dikuasainya dahulu, dan menjalankan Agresi Militer.

Periode 1940-1949 merupakan periode yang penuh gejolak bagi perjalanan sejarah Indonesia. Bangsa yang dahulu dikuasai oleh Belanda, Jepang, kemudian Belanda berambisi merebutnya kembali. Suatu tantangan bagi bangsa muda yang baru ‘merdeka’.

Film Soegija karya Garin Nugroho 2012 mencoba menceritakan apa yang terjadi pada periode tersebut. Walaupun sentral atau tokoh utama dalam film ini adalah sang Uskup dari Semarang, Albertus Soegijapranata, film juga mengisahkan berbagai tokoh dan kisah serta pengalaman di sekitar era 1940-1949.

Pada tahun 1940, Vatikan menunjuk Albertus Soegijapranata (diperankan dengan baik oleh sastrawan Nirwan Dewanto) menjadi Uskup. Di masa itu, hal tersebut merupakan peristiwa yang janggal sekaligus langka, seorang berdarah Indonesia asli (dalam istilah Belandanya, inlander) diangkat menjadi Uskup. Karena pada masa itu, mayoritas umat dan para rohaniwan Katolik berkebangsaan Belanda. Menjadi hal yang unik sekaligus tantangan bagi Soegija.

Peristiwa tersebut menarik perhatian Hendrick (Wouter Braaf), fotografer Belanda untuk meliput langsung kejadian langka tersebut. Mendengar keputusan itu, Robert (Wouter Zweers), seorang serdadu Belanda kawan dari Hendrick merespon dengan sinis, bahwa jika ia memotret peristiwa itu, mungkin ia harus mencium tangan sang uskup yang –menurut Robert– bau kerbau.

Robert adalah perwujudan dari kolonialisme Belanda yang rasis dan merendahkan. Ia tak segan-segan mengejek, memarahi, dan mengancam dengan pistol para inlander atau pribumi dengan atau tanpa alasan apapun.

Jepang secara mengejutkan menang di berbagai front perang di Asia, atau yang dikenal dengan Perang Pasifik Raya. Belanda harus takluk dari Jepang, dan angkat kaki dari Indonesia. Para Noni dan Tuan kulit putih yang sudah nyaman tinggal di tanah kolonial harus menerima kenyataan pahit, mati dengan sabetan katana bila tak turut perintah untuk mencium bendera matahari terbit, atau ditahan. Sebagian lain hidup terlunta-lunta.

Rakyat Indonesia awalnya melihat Jepang sebagai pembebas dari penjajahan Belanda. Anak anak menyambut dengan mengibar-ngibarkan bendera dan berseru “Asia Raya, Asia Raya!”

Rupanya Jepang sama saja dengan Belanda. Sebagai kekuatan pendudukan yang sedang butuh sumber daya perang, ujung-ujungnya sewenang-wenang juga kepada rakyat, dan rakyat mulai sengsara.

Ketika gereja hendak diambil alih oleh sekelompok pasukan Jepang, Soegija menolak. “Penggal dulu kepala saya, baru tuan boleh memakainya,” ujarnya.

Indonesia merdeka pada tahun 1945, namun tak serta merta aman sentosa. Belanda kembali lagi dengan Agresi Militer, membuat keadaan tak menentu, sebelum Pengakuan Kedaulatan akhirnya diberikan pada 1949.

Karakter Uskup Soegija tampil seolah sebagai tokoh yang dekat dengan rakyat yang sedang kebingungan. Ia adalah pemimpin agama, namun juga pemimpin rakyat. Lebih dari itu, ia digambarkan sebagai tokoh yang berpengaruh internasional. Dalam satu adegan, ia tampil di tengah para pimpinan militer sekutu, Jepang, dan Belanda berbicara dalam bahasa Inggris di hadapan para wartawan. Dalam adegan lain, ia ditampilkan menjadi perantara Bung Karno (diperankan sekilas oleh Imam Wibowo) dengan Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, yang mengindikasikan ada peran Soegija dalam diplomasi bangsa Indonesia di awal kemerdekaan.

Sebagai seorang Uskup Semarang, beliau adalah pemimpin gereja katolik di wilayah Semarang (dan Jawa Tengah pada umumnya). Namun film tentang Uskup Soegija ini tidak dikhususkan sebagai film bersifat agama, melainkan lebih dimaksudkan sebagai film bertema perjuangan kemerdekaan. Ya, beliau memang seorang pemimpin umat. Meskipun digambarkan sebagai tokoh pejuang kemerdekaan, beliau bukan yang tipe maju ke medan perang dan turut berdarah-darah.

Karakter-Karakter Tambahan Di awal film, sudah dijelaskan bahwa karakter karakter yang terdapat dalam film ini merupakan karakter dan kisah fiksi yang terinspirasi dari kisah nyata. Baik dari karakter-karakter orang Indonesia sendiri; Mariyem (Anissa Hertami), seorang umat Romo Soegija, yang enggan dipanggil Maria, kehilangan kakaknya di tengah medan perang. Ada tokoh koster –pembantu pastor– Toegimin (Butet Kertaredjasa) yang kemunculannya dalam setiap adegan selalu menjadi penghangat suasana dengan dialog dialognya yang kocak, seperti memgomentari pakaian jubah uskup yang panjang seperti barongsai. Di antara para pemuda pergerakan ada Lantip (Rukman Rosadi), seorang pemimpin pemuda sekaligus umat Romo Soegija. Dalam berbagai momen sebelum menjalankan tindakan ia sering meminta pendapat dan masukan dari sang uskup. Serta Banteng (diperankan oleh aktor pendatang baru Andriano Fidelis), seorang pemuda buta huruf yang nekat dan sembrono. Kenekatannya angkat senjata menyebabkan dua tokoh harus mati sia-sia.

Dari jajaran tokoh Belanda, ada Hendrick sang fotografer yang awalnya hanya ingin mendokumentasikan penobatan Uskup Soegija, namun kemudian terperangkap karena kedatangan Jepang, lalu simpatik terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lebih jauh ia jatuh cinta pada Mariyem, yang ia kenal sebagai penerjemahnya. Kemudian Robert, sang serdadu Belanda yang kejam dan tak kenal ampun. Ia mati di tangan Banteng yang nekat dan ingin dilanda kesumat.

Ada pula karakter Nobuzuki (diperankan oleh aktor Nobuyuki Suzuki), serdadu Jepang. Awalnya menjadi mata-mata yang menyaru pedagang. Ketika Jepang mendarat, ia berubah menjadi seorang komandan yang kejam, tak ubahnya karakter Robert. Namun hatinya selalu luluh ketika bertemu anak-anak, karena teringat pada anaknya di Jepang.

Di kalangan orang keturunan Tionghoa Indonesia, ada karakter Lingling (Andrea Reva), ibunya (Olga Lydia), serta kakek (Hengky Solaiman). Mereka adalah pengusaha restoran yang menyediakan makanan bagi Soegija, dan juga merupakan mitra dagang Nobuzuki ketika masih menyamar sebagai pedagang. Lingling kemudian terpisah dengan sang ibu karena ditangkap serdadu Jepang.

Pada suatu adegan, Lingling bertanya pada Soegija, kenapa harus dilahirkan sebagai seorang Tionghoa, dan selalu menderita, jadi korban amuk. Soegija menjawab, “tidak ada yang bisa merencanakan mau dilahirkan sebagai orang Tionghoa, Belanda, Jawa, dan sebagainya.”

Tidak seperti film sejarah Indonesia kebanyakan yang selalu menggambarkan kekontrasan antara pihak sang pejuang yang selalu serba suci, dan lawannya yang murni jahat. Karakter-karakter “musuh” di film ini –baik Belanda maupun Jepang– tampil dengan dua sisi. Ketika menjalankan tugas, mereka tampil bengis, namun di sisi lain nampak juga sifat humanis-nya. Karakter orang Indonesia, memang tampil sebagai jagoan, namun ada karakter seperti Banteng yang punya sisi kenekadan dan amarah yang membahayakan dirinya maupun orang lain.

Keragaman karakter dalam Soegija menggambarkan semua pihak, baik orang Indonesia, orang Indonesia keturunan Tionghoa, serdadu Belanda, serdadu Jepang, disatukan dalam kemanusiaan. Penonton diajak untuk memahami bahwa perang itu kejam, mematikan, memisahkan antar anggota keluarga, dan kerugian-kerugian lain. Tokoh utama Romo Soegija tidak digambarkan sebagai seorang yang berorasi dengan berapi-api, atau melakukan segala hal demi kemerdekaan, walau tetap sebagai seorang patriot. Ia seorang pribadi yang lebih mementingkan jalan damai yang penuh semangat humanisme.

Perihal Film Sejarah Permasalahan film sejarah Indonesia adalah hanya menjadi pengejawantahan dari apa yang telah tertulis dalam buku sejarah resmi. Kejadian demi kejadian disajikan secara kronologis, tersusun rapi, tanpa cela, mulus dari awal hingga akhir. Persis seperti menonton buku sejarah yang

dituangkan dalam film. Hal ini merupakan ‘formula’ film sejarah sejak era Orde Baru, Pengkhianatan Gerakan 30 September (Arifin C Noer, 1982), Operasi Trisula (BZ Kadaryono, 1986), hingga Soekarno: Indonesia Merdeka (Hanung Bramantyo, 2013).

Soegija menuturkannya dengan cara yang lain. Film tetap menampilkan deretan kejadian penting yang disusun secara kronologis, namun di sisi lain juga menampilkan kisah-kisah dan tokoh-tokoh lain di sekitar tokoh utama, yang berperiode sekitar penjajahan Belanda, Jepang, hingga Agresi Militer Belanda pada tahun 1940 hingga 1949, di Semarang dan Yogyakarta. Bahkan kisah-kisah lain ini porsinya lebih besar dibanding memaparkan kisah utama. Pemaparan berbagai kisah dan tokoh itu membuat film ini sangat berwarna, namun bukan tanpa resiko.

Hal-Hal Yang Dikesampingkan Ada beberapa hal yang tampaknya dikesampingkan demi memuluskan plot atau jalan cerita yang disusun. Tokoh Romo Soegija yang menjadi uskup Gereja Katolik di Semarang dengan umat yang bercampur antara bangsa Belanda dan Indonesia asli. Apakah ia sebagai Uskup yang ditunjuk langsung oleh Vatikan langsung diterima oleh umat? Mengingat dominannya umat (juga para bruder dan suster) berkebangsaan Belanda, ditambah dengan penggambaran tokoh Robert seorang serdadu Belanda yang bengis dan rasis, tidak menutup kemungkinan ada sebagian umat yang mempunyai cara berpikir serupa. Film tidak menampilkan konflik tersebut, dan cenderung menghindarinya.

Kompleksitas sikap orang Indonesia sendiri dalam menyikapi kemerdekaan sama sekali tidak ditampilkan. Perlu diketahui, pada saat itu orang Indonesia sendiri (terlepas apapun agamanya) terbelah dua antara pro republik dan pro Belanda. Kaum pro republik adalah kaum nasionalis yang memihak Indonesia, dan sering ditampilkan sifat heroismenya, juga dalam media seluloid atau film. Kaum pro Belanda adalah sebagian kaum tua yang lebih memilih zaman kolonial karena dianggap lebih damai, tenteram, dan bisa bekerja dengan tenang, berbeda dengan era kemerdekaan yang penuh dar-der-dor dan suasana yang rawan.

Sifat kaum tua seperti ini pernah muncul dalam Enam Djam Di Djogdja (Usmar Ismail, 1951): karakter ayah dari Hadi, seorang pejuang, yang digambarkan apatis terhadap perjuangan anaknya, menilai penghidupannya sama saja, baik di bawah penjajahan Belanda, Jepang, maupun republik. Namun kalau boleh memilih ia lebih memilih masa kolonial Belanda karena bisa bekerja dengan tenang.

Lebih jauh lagi, bagaimana sikap umat gereja terhadap kemerdekaan? Hal ini merupakan sesuatu yang bisa dipertanyakan lebih lanjut. Uskup Soegija sejak awal memang memihak kemerdekaan. Namun bagaimana dengan para imam, suster, serta bruder yang lain? Lebih kompleks lagi sikap para umat. Bagi sebagian umat Indonesia asli yang pro republik, pasti jelas memihak kemerdekaan. Bagaimana dengan sikap sebagian yang lain? Mereka memang orang Indonesia, namun ada pendapat bahwa mereka yang beragama Katolik secara iman dan emosi lebih dekat dengan Belanda, sehingga, tak ada salahnya mendukung Belanda. Kemenduaan sifat di antara orang Indonesia (dan gereja) sangat dihindari dalam Soegija, mungkin juga untuk menghindari polemik di antara penonton. Kecenderungan untuk tidak menampilkan konflik internal tidak hanya ditemui dalam film ini, namun juga film-film sejarah Indonesia pada umumnya. Padahal, nuansa abu-abu itu alamiah dan sangat humanis.

Film lebih memilih cara yang aman, dengan menyimpulkan Soegija (beserta keseluruhan umat dan gereja) serta seluruh rakyat bersatu padu mendukung kemerdekaan. Film tidak mempermasalahkan kedudukan pihak-pihak terhadap kemerdekaan Indonesia. Orang Indonesia pasti mendukung kemerdekaan, serdadu Belanda dan Jepang tetap ingin berlama-lama menguasai Nusantara. Walau ada penggambaran Hendrick sang fotografer yang simpatik terhadap perjuangan kaum republiken, namun tidak ditampilkan secara eksplisit ia mendukung para pejuang.

Tidak Fokus dan Terpecah Pecah Berbagai karakter yang tampil di atas layar membuat film terasa ‘gado-gado’, semuanya punya andil dalam cerita. Seolah semuanya dapat disatukan, dan kemanusiaan yang menang di atas segalanya. Secara moral baik sekali, namun secara bahasa film terasa tidak fokus. Film ini membuat perhatian penonton terpecah. Pendapat seperti ini kerap ditemui dalam tulisan-tulisan resensi Soegija, dan saya turut sepakat dengan hal tersebut.

Tokoh utama tampil hanya sebagai latar dalam setiap babak, bukan sentral dari penceritaan. Memang Uskup Soegija tampil sebagai pemberi moral para pejuang bersenjata dan dalam beberapa momen diplomasi di hadapan dunia internasional, namun sayang sekali karakter pribadi beliau tidak digali dan diceritakan lebih dalam, juga tentang perjuangan yang dilakukan Soegija sendiri untuk Indonesia. Padahal jasa beliau sebagai penghubung antara Indonesia dengan Vatikan sangatlah besar. Contoh lain, jasa Soegija menekan Belanda supaya mempercepat kedaulatan, tidak nampak.

Adegan pertemuan Bung Karno dengan Duta Besar Vatikan dan Soegija di Gedung Agung, Yogyakarta, justru tampil hanya sekilas. Kamera lebih memberi perhatian pada penyiar radio Pak Besut (diperankan oleh Margono) yang tengah melaporkan berita. Mungkin bila digali lebih dalam tentang pertemuan itu, film jadi lebih menarik.

Dibalik segala kelemahan itu, Soegija berhasil menyampaikan pesan: Indonesia yang sekarang, dahulu dibangun atas dua nilai penting; kemanusiaan dan keragaman. Sesuai dengan kutipan Monsinyur Albertus Soegijapranata, ”Kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa, asal usul, dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan sebuah keluarga besar.” Pada akhirnya, meskipun disampaikan lebih dengan cara verbal, pesan itulah inti film ini. Dan sulit untuk tidak setuju.

Soegija | 2012 | Genre Drama | Durasi 116 menit | Sutradara Garin Nugroho | Penulis Armantono, Garin Nugroho | Produksi Puskat Pictures | Negara Indonesia | Pemain Nirwan Dewanto, Wouter Braaf, Wouter Zweers, Anissa Hertami, Andriano Fidelis, Rukman Rosadi, Nobuyuki Suzuki, Andrea Reva, Olga Lydia, Hengky Solaiman, Landung Simatupang, Imam Wibowo, Margono

 

Harry Hariawan Relawan kineforum 2016. Peserta magang kineforum 2017.

bottom of page