Lima film pendek berikut ini, tergabung dalam Kompilasi Petak Umpet dan sempat hadir di kineforum dalam program Kumpul Bocah, 5-18 Juni 2017.
Masih ingatkah Anda dengan apa yang Anda pikirkan ketika berusia 10 tahun? Dunia kanak-kanak polos ketika kita masih belum memikirkan rumitnya masalah hidup, biasanya menjadi sesuatu yang terlupakan. Film-film pendek yang diputar dalam Kompilasi Petak Umpet akan mengajak Anda ke sana.
Lebah dan Nektar karya Monica Vanessa Tedja mengangkat bagaimana perbincangan “dewasa” dibicarakan oleh anak-anak. Menarik melihat reaksi para orang dewasa dalam film ini. Kita diingatkan, betapa kepolosan seorang anak amat mengejutkan. Tidak hanya karena sang anak menanyakan hal yang dianggap tabu, pada dasarnya orang dewasa juga kerap bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan anak-anak.
Hal menarik lain dari film ini karena Monica menggunakan perumpamaan yang lazim digunakan masyarakat Barat untuk mewakili “sesuatu” yang ditanyakan oleh tokoh utama filmnya. Ketiadaan perumpamaan yang setara dalam bahasa Indonesia, membuat Monica mengambil perumpamaan yang sesuai dengan judul versi Inggrisnya, “The Flower and the Bee”. Hal terpenting dari film ini adalah bagaimana seorang anak menemukan solusi misteri terbesar dalam hidupnya saat itu dengan cara anak-anak. Sesuatu yang mungkin mulai jarang terjadi, dengan meluasnya keberadaan internet yang, suka tidak suka, sering menjarah kepolosan anak-anak masa kini.
Kepolosan anak-anak membawa film pendek Say Hello to Yellow karya B.W. Purba Negara ke tingkatan yang berbeda. Anak kota yang baru pindah ke sebuah kota kecil di wilayah terpencil Gunung Kidul, membawa gaya hidup kota yang seolah dianggap lebih baik dari pada gaya hidup “anak kampung”. Telepon seluler yang sering menjadi simbol gaya hidup modern, menjadi titik fokus cerita film ini. Secara cerdas Say Hello to Yellow membawa sebab akibat dari keberadaan telepon seluler ke dalam sebuah jalinan cerita yang memberi pencerahan, tidak hanya bagi para tokoh anak-anak dalam film ini, tapi juga bagi kita penontonnya. B.W. berhasil melukiskan sebuah karikatur kehidupan kita saat ini, melalui sudut pandang anak-anak yang memikat. Film ini akan meninggalkan jejak dalam pikir-rasa kita, jauh setelah kita usai menonton film ini.
Dalam Kapur Ade, satu-satunya animasi dalam kompilasi ini, kisah anak-anak diceritakan Firman Widyasmara dengan cara yang halus, agak liar namun mengena. Mengangkat fenomena anak jalanan, Kapur Ade menggugat kita untuk mempedulikan nasib mereka. Sadarkah kita akan keberadaan anak jalanan di sekitar kita? Bagaimana kepolosan anak-anak ini dapat bertahan di tengah kerasnya kehidupan jalanan?
Anak-anak yang selalu butuh ruang untuk bermain, di dalam film ini menjadikan jalanan ruang bermain dengan kesenangan kecil yang didapat hanya dari sepotong kapur. Kapur Ade menjadi film yang tidak biasa ketika menunjukkan dunia jalanan yang ideal: penuh suka cita dan kepedulian dari orang-orang yang bekerja di jalanan. Firman membawa kita masuk ke dalam dunia ini untuk menunjukkan keindahan sekaligus kepedihan hidup seorang anak jalanan.
Meloncat jauh ke sebuah masyarakat tepi sungai di Kalimantan, hiduplah seorang bocah yang tinggal bersama kakeknya dalam Onomastika karya Loeloe Hendra. Kehidupan mereka tampak selaras dengan alam dan baik-baik saja. Masalah timbul ketika sang bocah bertemu dengan anak lain yang hidup lebih “normal”, menularkan sang bocah dengan keinginan yang sama, menjalani hidup yang “normal”.
Loeloe berhasil membawa kita ke dalam alam pikiran seorang anak laki-laki yang bukan hanya tidak memiliki orang tua lagi, ia bahkan tidak memiliki nama. Berbeda sekali dengan sang kakek, yang mudah sekali berganti nama. Gugatan Loeloe tidak hanya berhenti pada seberapa penting nama sebagai warisan orang tua kepada anaknya, Onomastika juga menggugat pada apa yang “normal” dan “tidak normal” dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.
Permasalahan lain juga coba dipecahkan oleh seorang anak perempuan dalam Sepatu Baru karya Aditya Ahmad. Sang anak hanya ingin mencari cara untuk menghentikan hujan agar dapat mengenakan sepatu barunya. Menarik melihat bagaimana Aditya mengolah motivasi ini menjadi serangkaian aksi petualangan yang seru dan menyenangkan di tengah gang-gang jalan yang basah.
Berlokasi di Makassar, Sepatu Baru berhasil menyampaikan cerita sederhana dalam balutan khas Indonesia. Jarang kita temui film anak Indonesia yang membagi pengetahuan tentang kepercayaan lokal dengan cara yang juga amat menghibur. Maka wajar jika film ini dipilih menjadi penutup Kompilasi Petak Umpet. Seperti ketika kita dulu bermain petak umpet, film-film dalam kompilasi ini membawa kita terbebas dari beban hidup.
Mari menutup mata dan berhitung hingga 100, lalu cari teman-teman yang sedang bersembunyi.
Mari membuka mata dan nikmati film-film pendek ini, lalu cari kepingan indah masa kanak-kanak Anda.
Comentarios