top of page

TARUNG HALAMAN


Lebaran baru saja berlalu. Banyak dari kita yang menyempatkan diri mencicipi ulang kampung halaman. Berbagai sensasi mungkin muncul dari sana. Ada yang menganggap kampung halaman adalah rumah sejatinya. Ada yang mungkin sebenarnya enggan pulang kampung karena berbagai kenangan buruk bersumber di sana. Sayangnya keterikatan batin terhadap asal muasal tak bisa tak diindahkan.​

Beberapa memutuskan untuk tetap di rantau. Ada yang berniat menjadikan rumah kedua, namun ada juga yang berusaha tetap menjaga hatinya untuk berjarak dari tempat baru ini. Sebuah usaha untuk menjaga ‘halaman’ yang ditempati sebagai sekadar tempat bertarung melawan hidup, tanpa ikatan emosi.

Ruang tempat hidup adalah habitat yang hidup, tak mungkin disikapi sebagai sekadar ruang. Manusia sadar tak sadar selalu memaknainya lebih, mengasosiasikan pribadinya ke tempat dia hidup. Membuat ruang itu ikut hidup.​

Pada program Tarung Halaman kali ini, di kurun tanggal 13-26 Juli 2017, kineforum mengajak Anda sekalian menjelajahi bagaimana manusia menghidupi dan bertarung dalam ruang hidupnya. Lewat 15 judul film dan satu sesi diskusi, mari kita mempertimbangkan apakah dalam menyikapi ruang hidup di mana kita menginvestasikan emosi, hati dan bahkan jiwa ini, perlu kita rebutkan, atau kita bagikan.​

Salam sinema dan sampai jumpa di kineforum.

1. Pendekar Urban

Pada tahun 2011, tercatat lebih dari setengah penduduk planet ini menghuni daerah urban. Kota telah menjadi kenyataan yang dominan. Setidaknya setengah dari kita telah ditakdirkan untuk bertarung dalam halaman yang sempit, entah berebut atau berbagi. Maka membangun kota pun menjadi sesuatu yang genting. Apakah kita akan membangun monumen megah semata, yang tidak bisa ditinggali, atau memanusiakan penghuninya.

Tetapi selagi kota berkembang dengan cara apapun, faktanya tetap: hidup di kota yang serba hiruk pikuk sama repotnya dengan pendekar yang harus selalu meladeni tantangan setiap saat, sampai beruban. Di urban. Kita juga yang terpaksa juga harus berpartisipasi, apakah kota akan menjadi tempat tinggal, atau sesuatu yang menelan kita.

Seksi program ini terdiri dari empat film panjang, yaitu:

  • Bikes vs Cars – Dari Sao Paulo dan Los Angeles, di mana mobil jadi raja, beberapa pesepeda menelusuri ulang penyebab kondisi saat ini, dan melacak rekam jejak industri mobil dalam meminggirkan manusia dari ruang-ruang kota.

  • Cintaku di Rumah Susun – Aneka kisah di sebuah rumah susun. Ketika rumah susun menjadi hal baru di kota, para warganya yang ‘terpaksa’ hidup berdekatan menciptakan pola hidup dengan akibat yang tak pernah mereka bayangkan.

  • Jakarta Maghrib – Penghujung hari, dan sebuah kota yang hiruk pikuk mendadak sendu sejenak. Semua penghuninya memasuki jeda yang memaksa mereka merenungkan posisi mereka di kota yang tak sudi memberi jeda.

  • Taksi – Gion memutuskan untuk menjalani hidup mandiri, dengan cara menjadi supir taksi. Di jalanan, dia menemui kegamangan hidup modern, di tengah Jakarta yang tengah berubah.

2. Padang Tremor

Orang menganggap tanah air adalah anugerah. Bumi memberi sedemikian banyak, dan wajar jika kita merasakan keterhubungan dengannya, entah kita memberi balik atau justru melunjak. Tapi seperti lazimnya hubungan di mana pun, ada kalanya ikatan itu goyah. Mungkin kita merusaknya sendiri, mungkin bumi menggeliat dan bergetar mengusir kita. Manusia-manusianya, yang terlanjur menganggap tanah air adalah rumah, mungkin terpaksa pindah atau kehilangan segalanya sembari bertanya: apa salah kami kepada ruang hidup ini, sehingga kami harus mengalami ini?

Seksi program ini terdiri dari lima film panjang, yaitu:

  • Atambua 39˚ Celsius – Di Atambua, bukan hanya cuaca yang panas. Hati dan pikiran anak-bapak Joao dan Ronaldo pun sama panasnya setelah keluarga mereka terpecah karena kemerdekaan Timor Timur, yang memaksa mereka untuk hidup di tanah asing.

  • Berlin Is in Germany – Seorang narapidana dibebaskan ke sebuah dunia yang asing baginya: Berlin yang bersatu, dan bebas dari intaian negara. Dia pun terpaksa mencari lagi rumah bagi dirinya, sembari mempertanyakan, apakah ia pernah punya rumah.

  • Bulan di Atas Kuburan – Tiga pemuda Batak bagaikan pungguk di perantauan, mencari “bulan”. Impian bercampur khayalan berbenturan dengan kenyataan di sebuah tanah yang asing bagi mereka.

  • Marah di Bumi Lambu – Ada bara di dalam benak penduduk Lambu yang kini terusir dari tanahnya. Dokumenter ini merekam kenangan dan impian mereka akan tanah leluhur yang telah dirampas.

  • Tabula Rasa – Pemuda Papua yang gagal di perantauan bertemu dengan sekelompok pengelola rumah makan Padang yang juga kehilangan rumah akibat bencana alam. Hasilnya bagaikan resep masakan yang membangkitkan kembali semangat hidup.

3. Arena Anomali

Ada kalanya ruang yang ada tidak mengijinkan untuk dihidupi atau dijadikan tempat hidup. Bahkan ada kalanya kita manusianya yang tidak memiliki sarana untuk menghidupi ruang, atau bahkan sekadar menikmati ruangnya. Untungnya, dengan segala keterbatasannya, yang tampaknya tak terbatas dari manusia adalah semangat kolektif untuk tidak menyerah. Setidaknya sampai saat ini.

Inilah segelintir kisah orang-orang yang bertarung menciptakan sendiri ruangnya untuk hidup, dalam keterbatasan dan keunikannya.

Seksi program ini terdiri dari enam film panjang, yaitu:

  • Berbagi Suami – Menjadi istri kesekian artinya menempati sebuah sekat yang tak nampak, yang diciptakan oleh si suami. Inilah kisah beberapa perempuan menyiasati sekat-sekat itu dengan aneka cara dan penyikapan.

  • The Commune – Sepasang suami istri yang mewarisi bangunan besar memutuskan menyiasati masalah finansial dengan menjadikannya rumah komunal. Hubungan antara pribadi di dalamnya tak elak mengusik harmoni komunal.

  • Good Bye Lenin! – Seorang ibu tua yang rapuh sudah terlalu terbiasa dengan cara hidup yang bergantung pada keberadaan Jerman Timur. Ketika Berlin menyatu, anaknya berusaha menciptakan sendiri Jerman Timur bagi ibunya.

  • In the Land of the Deaf – Dokumenter ini menjelajahi dunia para tuna rungu dan mengajak penonton untuk menemukan sebuah dunia, metode dan cara pandang yang unik, yang tak pernah terbayangkan oleh kita yang merasa ‘normal’.

  • Suci Sang Primadona – Di perantauan, Suci adalah primadona, impian semua pria yang rela memberikan apapun demi perhatiannya. Meskipun sebetulnya Suci hanya ingin cinta yang sederhana, yang sayangnya dia yakini, tidak akan dia dapat.

  • Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta – Di sebuah sekolah berasrama khusus difabel, sekelompok anak muda berusaha menemukan cinta dan keterhubungan dengan cara mereka sendiri.

4. Diskusi: Kampungku di Halaman Berapa?

Di tengah era yang katanya era informasi dan pengetahuan, isu agraria hingga kini masih menghantui kita di Indonesia. Mulai dari Rembang sampai ke kasus-kasus tak bernama di seluruh pelosok Indonesia, sampai ke kasus penggusuran di DKI, semua pada dasarnya adalah konflik perebutan ruang. Terkhusus, ruang hidup.

Perdebatan pelik mengenai perebutan ruang hidup, dewasa ini mengerucut ke dalam dua aliran yang sama-sama ekstrim. Tidak adakah jalan tengah? Mari kita tinggalkan sejenak partisanisme, bekali diri dengan akal sehat dan kepala dingin. Berdiskusi dan mencari oase pengetahuan sederhana sembari berbagi pengalaman dan pemahaman. Mengingatkan diri bahwa kita semestinya berbagi, bukan berebut. Bukan hanya dalam proses diskusi, tapi tentunya, termasuk ruang hidup.

Untuk mengisi sesi diskusi kali ini, kami mengundang tiga orang pembicara, para pegiat sosiologi, kebijakan publik dan tata ruang hidup, yaitu:

Agus Pambagio – Seorang pemerhati kebijakan publik dan bidang perlindungan konsumen yang juga merupakan salah satu pendiri PH&H Public Policy Interest Group, sebuah firma lobi yang bergerak di advokasi kebijakan publik.

Ignasius Susiadi Wibowo – Seorang arsitek muda berprestasi yang mendirikan LabTanya pada 2014, yaitu sebuah inisiatif riset yang bertujuan mempertanyakan ulang, mengeksplor, bereksperimen, dan memperluas perspektif dan pemahaman mengenai isu-isu keseharian, bertolak dari bidangnya di arsitektur dan perencanaan ruang.

Paulus Wirutomo – Seorang Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia yang telah mendedikasikan sekurang-kurangnya 35 tahun hidupnya sebagai pendidik dalam bidang sosiologi. Paulus Wirutomo meraih gelar Masternya lewat pengkhususan dalam bidang Perencanaan Sosial yang kemudian dilanjutkan dengan gelar Doktor dengan pengkhususan di bidang Sosiologi Pendidikan.

bottom of page