top of page

PARADE TEROR


Rasa takut adalah salah satu emosi yang paling purba pada manusia. Repotnya, juga salah satu yang paling kontradiktif imbasnya: paling disangkal--mungkin karena manusia takut dianggap “penakut”. Konsekuensinya, emosi ini jadi salah satu yang paling alot untuk dikelola. Selalu ada, selalu menghantui. Jika kita mau sedikit jujur, banyak sekali yang masyarakat kita takutkan saat ini: takut dianggap tidak sukses, takut dipandang tidak beriman, takut jomblo, takut masuk neraka. Campur aduk membuahkan keputusan-keputusan yang bernada panik dan histeris.​

Maka, apa yang bisa diperbuat oleh budaya pop, dalam hal ini film, menghadapi emosi yang disangkal itu? Genre horor dan thriller biasanya menjadi saluran untuk menghadapi rasa takut itu. Genre yang paling sering dituding murahan, mungkin karena emosi yang diolah terlalu mendasar, atau malah, karena orang jarang sudi mengakui ketakutannya. Tapi justru di genre yang dianggap murahan ini, film kerapkali bisa lebih jujur. Maka bahkan di sebuah masyarakat yang penuh penyangkalan pun, rasa takut itu bisa diselidiki lewat film horornya yang paling murahan sekalipun.

Pada tanggal 12-25 Oktober 2017, kineforum kembali hadir dengan program reguler, bertajuk Parade Teror. Lewat sederetan 14 film panjang dan satu sesi diskusi, kami mengajak teman-teman sekalian menghadapi dan mengeksplor rasa takut yang diam-diam membelenggu, yang mempengaruhi penilaian dan keputusan kita.​

Salam sinema dan sampai jumpa di kineforum... kalau berani

1. Bala Hawa

Dari legenda nenek sihir, cerita Calon Arang, hingga Hawa yang konon dianggap jadi perpanjangan tangan menggoda Adam, ada satu benang merah penting: semuanya menyiratkan kecurigaan, tudingan atau bahkan ketakutan terhadap perempuan. Peradaban di seantero planet ini memperlihatkan pola tertentu: pada suatu fase pada suatu masa, perempuan adalah dewi sumber kehidupan. Pada fase berikutnya, dewa-dewa jantan mengambil alih dan perempuan mendadak menjadi bala. Atau dijinakkan menjadi sekadar lahan untuk dicocoktanami benih generasi jantan berikutnya. Tapi sebagai taklukan, perempuan tidak pernah benar-benar menyerah dan penakluknya tahu, dan diam-diam takut akan fakta itu.

Di permukaan peradaban yang ingin tampak beradab, ketakutan itu terkubur di pelosok cerita-cerita dongeng malam, dan genre-genre yang terpinggirkan, yang berkisah tentang nenek sihir yang jahat. Seksi program Bala Hawa ingin mengangkat sebagian film yang mengeksplor ketakutan itu, sekaligus keberanian menghadapinya.

Seksi program ini terdiri dari empat film panjang, yaitu:

  • The Circle – Sekelompok siswi sebuah SMA di pelosok Swedia menjalani neraka masa remaja, lalu mendapati jati diri mereka sebagai penyihir yang harus menyelamatkan dunia yang tak pernah ramah kepada mereka.

  • Interchange – Serangkaian pembunuhan bernuansa mistis menjerat seorang detektif dan seorang fotografer polisi dalam upaya pembebasan diri dari kutukan masa lalu.

  • Lukisan Berlumur Darah – Sebuah lukisan sesosok perempuan menjadi medium tempat berkumpulnya dendam dan kemarahan, yang lalu menguar meracuni kehidupan sepasang suami istri yang naif.

  • Shutter – Dosa dan masa lalu Tun tak pernah tertebus. Dosa yang selalu hadir dalam bayang-bayang visualnya. Dan sialnya, Tun seorang fotografer.

2. Wabah Petaka

Ketika sebentuk wabah menyebar, apa yang bisa mendahuluinya lebih cepat menyebar? Rasa takutnya. Rasa takut lebih dari sekadar menular. Ia cepat sekali mewabah dan mencengkeram sebuah masyarakat. Terutama pada masyarakat yang sedang kehilangan pegangan, rasa takut adalah pegangan darurat, meskipun sejarah membuktikan rasa takut adalah pegangan yang tidak bisa diandalkan. Repotnya, yang sedang berpegangan pada rasa takut biasanya tidak mengakuinya juga. Dengan racunnya, rasa takut membuat sebuah masyarakat kehilangan dayanya, atau sebaliknya, bertindak bak ayam panik.

Dalam seksi program Wabah Petaka ini, kami menyajikan lima film yang menjelajahi sisik melik masyarakat yang terkuasai rasa takut itu, hingga berujung petaka; yaitu:

  • Kala – Di sebuah negeri tak bernama, seorang polisi di ujung lelah dan seorang wartawan narkoleptik terjebak dalam jalinan konspirasi yang memperebutkan warisan negeri mereka yang tengah dicekam ketakutan.

  • Keramat – Sekelompok pekerja film dari Jakarta mendapati bahwa kerja rutin mereka ternyata berada jauh di luar zona nyaman mereka, dan semua bahan konflik, kemarahan dan ketakutan tersulut oleh fenomena-fenomena supranatural.

  • M – Di tengah situasi kehancuran pasca Perang Dunia I, sebuah kota di Jerman dicekam oleh insiden tewasnya anak-anak oleh seorang pembunuh keji. Kegilaan si pembunuh dengan cepat tertandingi oleh kegilaan seisi kota dalam histeria dan ketakutan mereka.

  • Pengkhianatan Gerakan 30 September – Tragedi nasional berbuah tragedi kemanusiaan. Insiden penculikan para perwira tinggi TNI di tengah sekam membara menyulut sebuah negeri ke dalam kemarahan.

  • Regression – Sepasang detektif dan psikiater penyelidik menghadapi kasus pelecehan menahun dalam sebuah keluarga. Namun tampaknya masih ada rahasia yang lebih dalam lagi, menyangkut rasa takut berlapis yang dipendam terlalu dalam.

3. Cermin Retak

Pengetahuan bahwa rasa takut adalah pengendali manusia yang kuat, bukanlah rahasia lagi. Di sisi lain, rasa takut paling sering juga disangkal sebagai pengendali itu. Orang yang dicekam ketakutan bahkan masih terlalu jumawa untuk mengakuinya. Di sinilah sialnya. Celah itu menjadi lahan bermain bagi orang yang berpengetahuan, dan cukup punya niat untuk mengeksploitasi dan menebar rasa takut kepada orang lain. Apa yang menjadi motivasi melakukan itu? Murni demi menebar teror, tidak peduli karena teror hanya cara, atau bahkan, karena dia sendiri ketakutan akan sesuatu yang lain?

Seksi program Cermin Retak akan memberi kita tingkah laku yang bisa jadi membuka buruk kita sendiri. Hanya saja, kami mohon jangan sampai peribahasa lawas itu kejadian: buruk muka, cermin retak dibelah pula.

Seksi program ini terdiri dari lima film panjang, yaitu:

  • Aguirre, the Wrath of God – Sebuah ekspedisi mencari kota emas menghantarkan sekelompok serdadu Spanyol mencecerkan nyawa dan kewarasan mereka di sepanjang sungai hutan perawan Amerika Selatan.

  • fiksi. – Alisha percaya hidup manusia dalam tuturan fiksi, jauh lebih rapi dan memikat. Maka ia pun merekayasa hidup orang-orang di sekitarnya supaya punya “ending” yang baginya lebih tepat.

  • Hell – Kecemasan, insekuritas, ketakutan dan kemarahan menjadi bahan bakar Paul menjalani keseharian dan keputusannya, bahkan ketika hidupnya di permukaan tampak ideal lagi sempurna.

  • Nightcrawler – Seorang wirausaha sosiopatik menemukan lapangan kerja impiannya dalam lanskap media yang giat menjeritkan ketakutan demi memenuhi histeria khalayak.

  • Stoker – India Stoker merindukan seorang figur ayah. Ketika figur ayah yang hadir adalah seorang psikopat yang mempesona, India Stoker dengan senang hati meneladaninya, dengan jauh lebih baik lagi.

  • Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta – Di sebuah sekolah berasrama khusus difabel, sekelompok anak muda berusaha menemukan cinta dan keterhubungan dengan cara mereka sendiri.

4. Diskusi: Takut Apa, Sih?

Histeria dan jeritan kepanikan moral telah lama menjadi pendorong banyak keputusan dalam masyarakat kita akhir-akhir ini. Lalu represi dan pelarangan mulai kembali menyapa, “piye kabare?” Apa yang sesungguhnya ditakuti oleh masyarakat ini? Dan bagaimana sebaiknya kita menghadapi ketakutan-ketakutan selain sibuk panik menuding ini itu?

Rasa takut adalah manusiawi. Tak ada yang salah atau perlu diingkari dari merasa takut. Rasa takut itu juga, seperti halnya semua yang manusiawi, pada dasarnya sehat. Tapi kemudian, sebagai salah satu spesies dengan tingkat inteligensi yang lebih kompleks dibandingkan mahluk planet bumi yang lain, kita perlu sesekali mengenali dan mengidentifikasi sumber rasa takut itu, untuk kemudian dievaluasi, apakah pantas ditakuti. Setelahnya, mencari jalan yang juga lebih sehat untuk menghadapi rasa takut itu.

Mari ngobrol sambil takut-takut dalam sesi diskusi kineforum bulan Oktober ini. Untuk menemani eksplorasi terhadap rasa takut kita bersama, kami mengundang dua orang seniman yang aktif mengamati ‘ketakutan’ yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat dan berbagai bentuk ekspresinya dalam beragam media:

Gratiagusti Chananya Rompas – menyelesaikan program sarjana studi Sastra Inggris di Universitas Indonesia (2003) dan program pascasarjana The Gothic Imagination di University of Stirling, Skotlandia (2005). Ia adalah salah satu pendiri Komunitas BungaMatahari, sebuah komunitas puisi daring berbahasa Indonesia. Anya juga terlibat dalam Selatan--sebuah jurnal sastra daring dalam Bahasa Indonesia dan PaviliunPuisi--sebuah acara open mic bulanan yang mengajak pesertanya berbagi karya secara terbuka. Buku koleksi puisinya "Kota Ini Kembang Api" (2008) dan "Non-Spesifik" (2017) telah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Natasha Gabriella Tontey – lulus dari Universitas Pelita Harapan jurusan Desain Komunikasi Visual pada tahun 2011. Seorang desainer grafis yang mengembangkan proyek personalnya sebagai seniman, khususnya seputar terhadap tema ketakutan, horor dan teror. Ia kerap mengulik ide seputar bagaimana ketakutan bermanifestasi dan bisa diciptakan untuk mengendalikan opini dan kepedulian publik. Natasha pernah ikut serta dalam program Youth of Today di Ruang MES56 (Yogyakarta), LIMINAL di Cemeti Art House (Yogyakarta), Koganecho Bazaar 2015 (Yokohama, Jepang), Next Wave Festival 2016 (Melbourne, Australia), dan UNKNOWN ASIA 2016 (Osaka, Jepang).

bottom of page