Sabtu, 22 Oktober 2022 | 14:30 | Studio Sjuman Djaya
Minggu, 23 Oktober 2022 | 17:00 | Studio Asrul Sani
GRATIS
Lokasi:
Taman Ismail Marzuki
Gd. Trisno Soemardjo, Lantai 4
Jalan Cikini Raya no. 73, Menteng, Jakarta Pusat
Selepas masing-masing sesi penayangan (kompilasi) film “Hidup dengan Bencana”, kawan-kawan di Palu akan hadir di Kineforum secara daring untuk berbagi cerita tentang pengerjaan proyek film partisipatif ini, sekaligus pengalaman mereka dalam menjalankan kampanye dampak filmnya. Dipandu oleh BesiBerani.
Daftar tamu bincang-bincang bisa dilihat di bawah sinopsis.
Bencana adalah masalah hidup yang universal. Dia bisa datang dalam banyak bentuk, tapi yang pasti: di saat tak terduga. Meskipun begitu, tentu tetap ada langkah-langkah yang bisa diambil dalam rangka mempersiapkan diri, agar efek bencana bisa diminimalisir. Karena itu kompilasi film ini hadir. Menyambung tagline yang mereka gunakan saat peluncuran film, “back and forth 4 years of disaster”, kita perlu mengakali bagaimana caranya ‘hidup dengan bencana’ yang akan terus datang dan pergi.
Proyek ini digagas oleh Sinekoci, sebuah komunitas film di Kota Palu. Sebuah proyek partisipatif yang melibatkan kolaborasi bersama beberapa komunitas di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Hasilnya adalah HIDUP DENGAN BENCANA—sebuah kompilasi lima film pendek yang menyorot isu kebencanaan dari berbagai perspektif.
Kompilasi film pendek ini diproduksi oleh Sinekoci, dengan dukungan dari In-Docs lewat program “Good Pitch Indonesia 2019”. Penayangan “Hidup dengan Bencana” dalam program “Oper Bola di Kineforum adalah penayangan perdana di luar Pulau Sulawesi.
Negara Indonesia | Jenis Dokumenter | Tahun 2022 | Durasi 86 menit (total durasi kompilasi) | Bahasa Indonesia | Takarir Bahasa Indonesia | Format Digital | Klasifikasi Usia 12+
Film-film HIDUP DENGAN BENCANA
SAYA DI SINI, KAU DI SANA
Sutradara Taufiqurrahman “Kifu” | Durasi 18 menit | Kolaborator Forum Sudut Pandang
Buaya dan manusia berbagi ruang hidup. Sekarang, mereka hidup saling curiga. Di zona rawan bencana, manusia semakin sering bertemu dengan buaya. Ada yang digigit, ada juga yang yakin akan baik-baik saja, karena telah saling berjanji kepada para penghuni air, "Saya di sini, kau di sana. Baku bagi tempat kita."
Film ini mengangkat isu kebencanaan dengan perspektif keseimbangan ekosistem, khususnya relasi ruang hidup antara manusia dan buaya. Wilayah sungai dan laut Teluk Palu menjadi latar belakang pembuatan film. Konon, manusia dan buaya di Palu sudah hidup berdampingan sejak dahulu kala dan saling berbagi ruang, untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Namun, di masa pascabencana, pembangunan tanggul laut menjadi ancaman besar akan ruang wilayah manusia dan terutama buaya-buaya muara.
TIMBUL TENGGELAM
Sutradara Nurcholis Darmawan | Durasi 19 menit | Kolaborator Sikola Pomore
Sarifa (10) dan sahabatnya Tiara (11) sama-sama merupakan penyintas bencana gempa dan tsunami Palu 2018. Mereka mencoba menggali ingatan Kakeknya yang mulai memudar, terkait Tsunami Mapaga 1968. Banjir rob yang melanda desa Tompe pascabencana hingga hari ini ‘memaksa’ mereka terus belajar dan beradaptasi bersama-sama.
Film ini menilik isu kebencanaan dari sudut pandang anak-anak dan kelompok rentan. Desa Tompe, Kec. Sirenja, Kab. Donggala dipilih sebagai lokasi pembuatan filmnya karena daerah ini adalah titik pusat gempa 28 September 2018. Hingga hari ini, mereka masih merasakan dampak pascabencana, yaitu banjir rob yang menggenangi desa.
TURUN KE ATAS
Sutradara Rizki Syafaat Urip | Durasi 16 menit | Kolaborator Nemu Buku
Nene Ratna adalah seorang perempuan lanjut usia berdarah Kaili, penyintas bencana 28 September 2018. Ia mengenang kembali masa kecilnya di kelurahan Balaroa, salah satu titik likuifaksi yang paling terdampak di bagian barat Kota Palu. Dalam ingatannya terlekat cerita-cerita yang disampaikan turun temurun, tentang penamaan wilayah berdasarkan vegetasi atau toponimi kawasan Balaroa.
Film ini menghubungkan kebencanaan dengan sejarah berbasis kearifan lokal. Kurangnya pengetahuan mengenai sejarah penamaan wilayah-wilayah di sekitar Kota Palu bisa membahayakan warga. Contohnya, wilayah bernama “Duyu” (yang berarti “longsor”) sekarang telah menjadi lokasi hunian tetap warga penyintas Balaroa; padahal mereka bisa tertimpa musibah besar sewaktu-waktu.
TANIGASI
Sutradara Ade Nuriadin | Durasi 17 menit | Kolaborator Institut Tana Sanggamu
Rusdin (49) dan Wardia (44) merupakan pasangan suami istri penyintas bencana 2018. Alih-alih meratapi nasib dan menunggu bantuan di tempat pengungsian, mereka memutuskan untuk mulai menggarap kebun terbengkalai milik mereka. Keputusan ini menjadi salah satu langkah mitigasi pangan saat bencana yang diwariskan turun temurun di kalangan masyarakat Desa Toaya.
Film ini memilih isu lingkungan dan ketahanan pangan dalam membicarakan kebencanaan. Daratan pesisir Desa Toaya di Kabupaten Donggala adalah salah satu wilayah terdampak bencana gempa dan tsunami 28 September 2018. Bertani secara organik adalah gerakan yang kembali dihidupkan oleh masyarakat desa ini, untuk melanjutkan tradisi dari leluhur mereka yang sejak dahulu telah sadar akan kebutuhan mitigasi pangan pascabencana.
YANG HILANG DAN YANG TUMBUH
Sutradara Nur Amri Firmansyah | Durasi 16 menit | Produksi Sinekoci
Setahun setelah situasi bencana, seorang siswi bernama L (19) tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ia harus menikah, karena ia telah dikaruniai seorang anak.
Film ini menyorot isu kebencanaan lewat meningkatnya kasus pernikahan anak pascabencana di Kota Palu. Topik ini sulit diakses, karena tidak mudah mencari narasumber yang bersedia difilmkan akibat isunya yang sensitif. Saat pembuatan film, narasumber menetap di rumah keluarga suaminya, di Mamboro. Mamboro merupakan salah satu daerah pesisir di Kota Palu yang terdampak bencana. Saat ini, masih banyak penduduk berprofesi nelayan yang masih memilih untuk menetap tinggal di zona rawan bencana akibat tuntutan ekonomi.
Penayangan film di hari Sabtu (22 Oktober 2022) akan diikuti dengan bincang-bincang bersama:
Rizki Syafaat Urip (Sutradara “Turun ke Atas”, Nemu Buku)
Nurcholis Darmawan (Sutradara “Timbul Tenggelam”, Sikola Pomore)
Mohammad Ifdhal (Produser Dampak, Sinekoci)
Penayangan film di hari Minggu (23 Oktober 2022) akan diikuti dengan bincang-bincang bersama:
Taufiqurrahman “Kifu” (Sutradara “Saya di Sini, Kau di Sana”, Forum Sudut Pandang)
Ade Nuriadin (Sutradara “Tanigasi”, Institut Tana Sanggamu)
Nur Amri Firmansyah (Sutradara “Yang Hilang dan Yang Tumbuh”, Sinekoci)
Sarah Adilah (Produser, Sinekoci)
Mohammad Ifdhal (Produser Dampak, Sinekoci)
Mohammad Ifdhal // Produser Dampak, Sinekoci

Ifdhal adalah Program Director di Sinekoci—sebuah komunitas film di Palu yang berfokus pada pengembangan ide cerita dan produksi film. Sejak 2017, ia juga berkarya sebagai seorang pembuat film. Film pendek pertamanya berjudul “Tunalogi” (2017) mendapatkan penghargaan di beberapa ajang festival film nasional. Film terakhirnya “Kabar dari Amal” (2020) berhasil masuk ke dalam ajang kompetisi di Bakunawa Young Cinema Philippines 8th, 2022.
Di tahun 2019, bersama Sarah Adilah, ia mempresentasikan proyek “Hidup dengan Bencana” dalam program “Good Pitch Indonesia 2019” yang diselenggarakan oleh In-Docs. Dalam proyek ini, ia bertanggung jawab mengelola kegiatan kampanye dampak dari film hasil kerja kolaboratif ini.
Sarah Adilah // Produser, Sinekoci

Sarah memulai petualangannya membuat film sejak masih duduk di bangku SMA. Film (pendek) keduanya “Cermin” (2015) menjadi nomine di acara Apresiasi Film Indonesia 2015 untuk kategori Film Pelajar Terbaik. Film itu jugalah yang membukakan jalannya untuk menempuh pendidikan film di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) sebagai penerima beasiswa. Selama masa kuliahnya, Sarah berhasil memproduksi tujuh film pendek (fiksi & dokumenter), dan tidak melulu sebagai tugas kuliah. Bahkan dua di antaranya sempat ditayangkan di program penayangan film luar negeri, yaitu “Gula dan Pasir” (2017) di Indonesian Short Program World Cinema Amsterdam 2019 dan “Menjadi Dara” (2019) di KAUM Alternative Indonesian Performance & Film Festival, Berlin, 2021.
Untuk proyek “Hidup dengan Bencana”, Sarah memegang posisi sebagai produser. Bersama Ifdhal, ia mengikuti program pelatihan dan pitching—”Good Pitch Indonesia 2019” yang diselenggarakan oleh In-Docs. Tanggung jawabnya meliputi penggalangan dana dan pengelolaan produksi dari proyek partisipatif ini.
Di masa pandemi, ia sudah menyelesaikan kuliahnya di UMN sambil terus berkarya, baik di kota asalnya maupun di luar Kota Palu. Saat ini, ia sedang berusaha meraih beasiswa untuk melanjutkan studinya di luar negeri.
Para Pembuat Film HIDUP DENGAN BENCANA
Ade Nuriadin

Sebagai seorang lulusan (S2) dari Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Gajah Mada, Ade gemar menggunakan media sebagai alat transformasi, khususnya film dan video. Lewat komunitas Institut Tana Sanggamu yang ia dirikan pada 2018, ia mengembangkan gerakan perkebunan organik. Ia ingin merangkul dan mendalami tradisi masyarakat sekitarnya dan menggunakan platform media baru untuk menyebarkan gagasan budaya asli.
Selain menjabat sebagai Direktur Yayasan Tana Sanggamu Sindue (nama resmi dari “Institut Tana Sanggamu”), Ade juga tetap menekuni minatnya sebagai seorang pembuat film independen. Karya terbarunya adalah film dokumenter pendek “Tanigasi”, bagian dari kompilasi “Hidup dengan Bencana” (2022).
Nur Amri Firmansyah

Nur Amri Firmansyah (Amri) mulai memproduksi film pada 2019. Saat itu, karyanya “Mosinggani” mendapatkan nominasi film terbaik di beberapa ajang festival pelajar nasional. Film “Kurir” (2021) yang ia sutradarai, sempat ditayangkan di platform Vidio.com dalam program “Road to Jakarta Film Week 2022”. Selain itu, Amri juga terlibat sebagai penulis untuk film “Telur” (2020) yang masuk dalam jajaran film di Jakarta Film Week 2022.
Film “Yang Hilang dan Yang Tumbuh” dalam kompilasi “Hidup dengan Bencana” adalah film pendeknya yang ke-enam, diproduksi bersama Sinekoci. Saat ini, Amri masih kuliah di jurusan Antropologi, di Universitas Tadulako, Palu.
Nurcholis Darmawan // Sutradara “Timbul Tenggelam”

Nurcholis Darmawan (Wawan) sudah mulai menjajaki profesi sebagai penulis sejak ia masih menjadi mahasiswa. Berangkat dari Jurnalis Pers Mahasiswa, ia lalu bekerja sebagai wartawan di salah satu media lokal di Kota Palu. Selepas masa studinya, ia telah memproduksi dua karya tulisan antologi cerita pendek—“Noali” (2019) dan “Saka Bajang” (2021).
Selain menulis, ia juga aktif dalam menjalankan program sekolah alam berbasis pengetahuan lokal bersama komunitasnya, Sikola Pomore. Mewakili komunitas ini, Wawan terlibat dalam proyek partisipatif “Hidup dengan Bencana” sebagai salah satu pembuat film. Film ini adalah film pertamanya.
Rizki Syafaat Urip // Sutradara “Turun ke Atas”

Rizki adalah salah seorang relawan di Perpustakaan Mini Nemu Buku di Palu. Di sana, ia aktif terlibat dalam pelaksanaan program-program komunitas, seperti “Bioskop Jumat”, penataan dan pendataan buku, diskusi buku, serta beberapa program lainnya. Selain kegiatannya di Nemu Buku, ia melakoni profesi sebagai reporter di media lokal di Sulawesi Tengah—tutura.id.
Dalam proyek partisipatif “Hidup dengan Bencana”, ia mendapatkan kesempatan untuk menggarap film perdananya bersama tim di Perpustakaan Mini Nemu Buku dan Sinekoci.
Taufiqurrahman “Kifu” // Sutradara “Saya di Sini, Kau di Sana”

Kifu adalah seorang seniman interdisiplin. Ia menggunakan berbagai media dalam praktik seninya, seperti drawing, video, film, dan seni performans. Tahun 2016, ia ikut mendirikan Forum Sudut Pandang—sebuah kolektif pegiat seni dan media yang berbasis di Palu. Hingga kini, ia terus aktif berkesenian dan berjejaring dengan banyak seniman yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia.
Tahun 2021, Kifu mengembangkan dan memproduksi film dokumenter pendek pertamanya, yang menjadi bagian dari proyek partisipatif “Hidup dengan Bencana”.
Para Komunitas Kolaborator HIDUP DENGAN BENCANA
Forum Sudut Pandang

Forum Sudut Pandang adalah sebuah organisasi non-profit yang dikelola oleh para pegiat seni lintas disiplin yang berbasis di Kota Palu. Kegiatan reguler komunitas ini fokus pada reproduksi pengetahuan tentang kota tempat mereka tinggal.
Pascabencana yang menimpa Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala pada 28 September 2018, Forum Sudut Pandang mengambil peran dalam mengintervensi pemulihan bagi masyarakat terdampak, di antaranya dengan menjadi relawan dalam pendistribusian bantuan logistik di masa darurat, melakukan pemutaran 13 film pendek (“Donasinema”), melakukan trauma healing bersama anak-anak di kamp pengungsian, menerbitkan buku kolase dari pengalaman anak-anak penyintas bencana—“Yang Kitorang Rasa Waktu Gempa”, serta terlibat dalam beberapa kerja-kerja advokasi penanggulangan bencana.
Institut Tana Sanggamu

Institut Tana Sanggamu adalah kelompok anak muda di Desa Toaya yang terbentuk pasca-bencana pada 2018. Kegiatan komunitas pembaharu desa yang mengutamakan prinsip kelestarian lingkungan ini berfokus pada pengembangan ilmu pengetahuan, budaya, dan kesejahteraan masyarakat akar rumput.
Didirikan oleh Ade Nuriadin, komunitas ini sejak September 2022 lalu sudah resmi menjadi sebuah organisasi berbadan hukum, dengan nama Yayasan Tana Sanggamu Sindue.
Nemu Buku

Nemu Buku adalah nama sebuah perpustakaan yang didirikan oleh Neni Muhidin sejak 2007. Perpustakaan yang kini sudah memiliki koleksi lebih dari lima ribu judul buku ini, awalnya berangkat dari hobi Neni mengumpulkan buku dan keinginannya untuk memupuk semangat dan budaya literasi di kota kelahirannya.
Sebagai sebuah komunitas, Nemu Buku terbentuk dari kehadirannya sebagai ruang bersama komunitas literasi di Kota Palu. Para relawan yang tergerak untuk tergabung mengelola kegiatan Nemu Buku punya minat yang sama dalam perawatan kebiasaan membaca masyarakat umum Kota Palu. Berbagai cara mereka lakukan untuk menumbuhkan minat baca masyarakat, terutama anak-anak muda. Misalnya lewat kegiatan road show taman baca, kegiatan menonton dan diskusi film bersama, sampai mengadakan pelatihan membuat film pendek. Selain itu, ada juga program pengumpulan buku untuk disalurkan ke daerah terpencil lewat sebuah taman baca di daerah tersebut.
Sikola Pomore

Sikola Pomore—sebuah upaya wirausaha sosial dalam bentuk sekolah alam—didirikan oleh sekelompok individu yang tergerak untuk mendorong kesadaran masyarakat pesisir akan pentingnya pendidikan anak. Sekolah ini didedikasikan khusus untuk anak-anak di daerah pesisir, khususnya di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Di daerah ini, ada banyak anak-anak keluarga miskin yang putus sekolah setiap tahun akibat kurangnya motivasi belajar dan kebutuhan ekonomi keluarga yang membuat orangtua mereka lebih memilih anaknya bekerja daripada melanjutkan sekolah.
Sikola Pomore menyuguhkan kegiatan belajar sebagai pengalaman yang menyenangkan. Mereka juga mengajak dan memfasilitasi masyarakat sekitar, khususnya para orangtua, agar mereka bisa terlibat langsung dalam pendidikan anak-anak. Sikola Pomore juga mengikutsertakan para orang muda untuk mengajar dan menjadi panutan bagi anak-anak. Mereka percaya bahwa pendidikan yang berkelanjutan bisa memberikan masa depan yang lebih baik.